Namaku Kuntadi Priyambada. Aku biasa di pangil Kun. Kedua orang tuaku
sudah meninggal, Ketika itu aku baru kelas 2 SMP, Aku terpaksa ikut Mas
Pras. Dia adalah anak ayah dari isteri pertama. Jadi aku dan Mas Pras
lahir dari ibu yang berbeda. Mas Pras ( 30 tahun ) orangnya baik dan
sayang kepadaku, tapi istrinya……… wah judes, dan galak. Ketika Ibuku
meninggal, yang mengakibatkan aku jadi sebatang kara di dunia, Mas Pras
baru seminggu menikah. Kehadiranku di keluarga baru itu, tentu sangat
mengganggu privasi mereka. Rumah kontrakan sempit hanya ada tiga kamar.
Kamar tidur, kamar tamu dan dapur. Aku merasakan sikap yang kurang enak
ini sejak aku hadir di situ.
“Kun, kamu tidur di kursi tamu dulu, ya…? Atau di karpet juga bisa. Kamu
tau kan, memang tidak ada tempat?” Mas Pras menyapaku dengan
lembut.”Sama Mbak-mu harus nurut. Bantu dia kalu banyak pekerjaan” Aku
hanya mengangguk. Aku tidak begitu akrab dengan Mas Pras, karena memang
jarang bertemu. Aku di Jogja, Mas Pras kerja di Semarang. Nengok ibu
(tiri) paling setengah tahun sekali. Sambil mengirim uang buat biaya
sekolah aku.
Kakak lalu berangkat kerja. Dia adalah sopir truk antar-propinsi. Saat
itu aku putus sekolah. Di Jogja belum keluar, tapi di Semarang belum
masuk ke sekolah baru. Sehari-hari di rumah sempit itu menemani kakak
ipar yg baru seminggu ini kukenal. Rasanya aku tidak krasan tinggal di
“neraka” ini. Tapi mau ke mana dan mau ikut siapa?
Pagi itu aku sudah selesai menjemur pakaian yang dicuci Mbak Narsih. Kulihat dia lagi sibuk di dapur.
“Mbak, saya disuruh bantu apa?” aku mencoba pedekate dengan Mbak Narsih.
“Cah lanang, bisanya apaaa. Sana ambil air, cuci gelas, piring dan
penuhi bak mandi.” Sakit telinga dan hatiku mendengar perintahnya yang
kasar. Tanpa ba-bi-bu semua kulaksanakan. Karena tak ada lagi yang mesti
dikerjakan lagi, iseng-iseng aku nyetel radio kecil di meja tamu (Kakak
gak punya tivi)
“E…malah dengerin radio……….sana belanja ke warung” aku diberi daftar
belanjaan. Untungnya aku sudah biasa membantu Ibu ketika beliau masih
ada. Aku hidup bersama Ibu sejak kecil, karena ayah sudah lama
meninggal. Agak jauh warung itu. Aku tidak malu-malu dan canggung beli
sayuran, malah Bu Salamun, yang jual sayur heran, “Mbok, nyuruh
pembantunya, to cah bagus. Kok belanja sendiri.” Aku cuma senyum saja.
“Ini, Mbak, belanjaannya. Ini susuknya.” Kuserahkan tas kresek dan uang
kembalian, tapi Mbak Narsih tetep sibuk marut kelapa. Kutaruh saja tas
kresek itu di kursi kayu dekat kompor minyak. Memang kesannya dia baru
marah. Padahal aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Tanpa
disuruh aku ikut mengupas bawang, memetik sayur dan menyiapkan bumbu
yang tadi kubeli. “Mau bikin sayur lodeh,to Mbak?”
“Sok tau………..” jawabnya ketus. Dia mulai masak. Aku keluar saja. Ada
rasa ngeri deket-deket orang marah. Di luar aku nggak berani dengerin
radio lagi. Ingin rasanya aku menangis dan pergi dari rumah ini. Aku
duduk di teras rumah melihat orang berlalu lalang di depan rumah.
Tiba-tiba aku membaui masakan yang gosong. Tapi aku tidak berani masuk.
Takut dibentak istri Mas Pras yang cantik tapi guualakke pol itu.
“Kuuuuuunnn…………..sini” Mbak Narsih berteriak memanggil. Aku bergegas
masuk. Kulihat dapur berantakan. Panci sayur di lantai, sayur tumpah.
Kursi tempat menaruh bumbu sudah terguling.Bumbu bertebaran di lantai.
Dan…. kompor menyala besaar sekali. Untung aku tidak ikut panik dan bisa
berpikir cepat.
“Mbaaaakk…kenapa tanganmu?” Kulihat tangannya merah melepuh, Tangan Mbak
Narsih sepertinya ketumpahan kuah tapi perhatianku lebih tertuju pada
kompor yang menyala besar sekali,. Cepat kuambil keset di ruang tamu,
kubasahi dengan air cucian dan kututupkan ke kompor yang menyala itu.
Sesaat kemudian kompor itu padam. Cepat kupetik papaya di depan rumah (
padahal itu milik Lik Yanto, tetangga) kubelah pakai pisau. Lalu
getahnya kuusapkan ke tangan Mbak Narsih yang melepuh.
“Jangan…nanti sakit….ngawur….aduuuuh,,,” Mbak Narsih menangis dan aku
nekad menutup lukanya iu dengan sayatan-sayatan papaya mentah. Luka itu
akhirnya tertutup semua dengan sayatan buah papaya. Keliatannya usahaku
berpengaruh. Mbak Narsih agak tenang sekarang.
“Sudah dingin, Mbak?” aku menatap dengan iba kakak iparku yang malang
ini. Air matanya meleleh. Dia diam membisu sambil menggigit bibirnya
menahan sakit. Pasti panas dan perih, aku tahu itu.
“Kun, kita gak bisa makan siang.” Akhirnya keluar suara Mbak Narsih, pelan tidak galak lagi.
“Wis Mbak, istirahat saja, masih sakit kan?” kutegakkan kursi yang
terguling dan kutuntun Mbak Narsih duduk. Dapur segera kubersihkan.
Kompor bisa menyala lagi. Sisa-sisa bumbu yg ada kupakai untuk masak
sayur pepaya. Aku sudah terbiasa membantu Ibu, jadi ini hanya suatu
kebiasaan. Mbak Narsih hanya melihat aku sibuk di dapur tanpa komentar.
Dia terus-terusan mengaduh kesakitan. Tapi aku mendahulukan selesainya
pekerjaan di dapur. Sayur sudah masak. Nasi sudah ada. Semua kuatur di
meja tamu yang sekaligus menjadi meja makan.
“Mbak, mau makan? Tak ambilke, ya?” Mbak Narsih hanya memandangku dengan mata basah.
“Kun, kamu baik, ya? Terimasih, ya Dik, tapi kedua tanganku melepuh
begini, dan ini perutku perih sekali. Kulihat perut Mbak Narsih,
Astaga…. Ternyata daster sebelah kiri sudah terbakar dan perut Mbak
Narsih bengkak kemerah-merahan. Aku cari sisa-sisa irisan papaya tadi.
Aku parut lembut dan kuparamkan di perutnya. Waktu itu aku tidak
berpikir macem-macem, karena perhatianku pada penderitaannya. Dia agak
tenang sekarang.
“Ambilkan daster Mbak yang utuh di lemari, Kun. Yang kupakai ini dibuang saja, sudah separo terbakar.”
Aku ambilkan daster pink di lemari lalu….aku berhenti dan termangu di depan Mbak Narsih.
“Ayo, buka daster yang terbakar ini. Tolong diganti dengan yang kamu
ambilkan tadi.” Mbak Narsih melihat keraguanku tadi. ‘Pelan, pelan…. Ada
yang masih lengket di kulit…ssss… adduuuh”
Akhirnya daster itu bisa kulepas. Baru kali ini aku melihat dengan jelas
dan dari dekat, wanita setengah telanjang. Mbak Narsih berkulit putih
bersih. Perutnya rata dan…. yang terbungkus di bra hitam itu bulat putih
dan besaar. Aku terpesona sesaat.
“Ayoooo….. dingiiin, Kun. Cepat ambil daster pink itu” aku tersadar dari
pesona keindahan di depanku segera memakaikan daster itu.
Siang itu aku menyuapi Mbak Narsih. “Enak, Kun, masakanmu. Kamu kok bisa masak, to?”
“Halah, aku Cuma liat Ibu masak dan sering membantu Ibu.” Tapi dalam hati aku bangga memperoleh perhatian seperti itu.
Lik Yanto dan Mbak Saodah, isterinya, datang menengok dan memberi salep
dingin. Tiap hari, pagi dan sore aku mengolesi luka-lukanya. Kedua
tangan, jari, dan perutnya. Tiga hari aku merawat Mbak Narsih …….
suasana sudah berubah total. Keadaan dia, dua tangannya nyaris nggak
bbisa pegang apapun. Telapak tangan melepuh, membuat dia menyadari bahwa
saat itu, aku diperlukan, selama Mas Pras belum pulang. Karena tiap
pagi dan sore, mengepel tubuhnya, aku bisa melihat dari dekat seperti
apa tubuh wanita dewasa
itu. Saat aku mengelap tubuhnya, aku jadi tau, bentuk payudaranya yang
bulat dan kenceng, putingnya yang coklat dipucuk gunung putihnya, Saat
kulepas celdamnya, bisa kulihat bibir bawahnya yang indah berambut
tipis. Pangkal pahanya lebih putih daripada sekitarnya. Memang Mbak
Narsih wanita cantik sempurna. Kakakku tidak salah memilih pasangan
hidupnya. Mas Pras ganteng, Mbak Narsih cantik. Hidungnya mungil tapi
tidak pesek. Runcing indah di atas bibirnya yang mungil. Seperti Yuni
Shara, tapi tubuh kakakku jauh lebih besar dan lebih tinggi. Tanpa
kusadari, aku kok merasa asyik merawat kakakku ini. Pengen nya hari
segera sore atau kalau malam ingin segera pagi. Ada kerinduan untuk
melihat keindahan itu. Ah, berdosakah aku? Sering aku diam melamun
diombang-ambingkan perasaan ingin menikmati tapi juga merasa bersalah
kepada Mas Pras.
Setelah tiga hari hanya di lap dan dipel dengan handuk basah., pagi itu
dia minta dimandikan dengan air hangat. Kusiapkan air hangat di baskom.
Mbak Narsih duduk di kursi kayu, kamar mandi kubiarkan terbuka, agar
ruangan lebih luas dan aku bisa ikut masuk mengguyur tibuhnya dan
memandikannya. Aku merasakan kehalusan kulitnya saat aku menyabuni
tubuhnya. Pahanya yang mulus dan bersih, pundak dan lehernya yang
jenjang dan putih. Tadinya aku ragu-ragu untuk menyabuni susunya. Tapi
Mbak Narsih dengan “marah” memaksaku menyabuni bukit kembarnya itu.
“Kun, terus saja gosok dan putar-putar di situ, biar bersih.” perasaan
sudah bersih banget, kenapa disuruh menyabuni terus. Melihat
kemontokannya terasa celanaku jadi sempit.
“Nah. Diputar putar gitu, Kun. Terus dari bawah diangkat sambil
digosok.” Mbak Narsih terus member pengarahan. Kusangga payudaranya
naik, lalu sedikit kuremas dan kupijit. Mbak Narti tidak protes, Cuma
memandang ke payudaranya yang semakin menggembung montok itu. Apalagi
kedua tangannya diangkat naik karena takut telapak tangannya yang luka
terkena air, sehingga keteknya yang bermbut tipis itu terbuka lebar.
Payudaranya terangkat naik.
“Sekarang, ambil air lagi, diguyur pelan-pelan. Sambil dihilangkan
sabunnya.” Kuguyur merata, dan sisa-sisa busa larut ke bawah menampakkan
kecerahan kulitnya yang semakin terang. Aku yakin tanpa lampu pun kamar
mandi itu akan terang benderang karena kecerahan kulitnya.
“Dikosoki, Kun biar dakinya ilang.” Mbak Narsih mengulang lagi. Mulutku
terkatub rapat sambil menggigit bibir, menahan perasaan aneh di hati,
kugosok-gosok sisa sisa sabun yang terasa licin itu.
Memang enak rasanya menyentuh daging empuk ini. Aku malah setengah
meremas pada ujung-ujungnya. Aku heran kenapa pucuknya keras. kenapa
setiap aku remas ujung susunya, Mbak Narsih memejamkan matanya. “Masih
sakit, Mbak?” Dia Cuma menggeleng tapi tetap mata terpejam.
“Kun, sudah tiga hari ini Mbak nahan untuk tidak ke WC, tapi perutku
sudah sakit banget. Aku mau ke WC, Nanti tolong kamu semprot ya anuku,
pakai toler air. Tanganku masih melepuh.” Mbak Narsih jongkok di WC,
pintu kututup. Wah, baunya sampai juga di luar. Aduuuh, tugas berat nih,
keluhku dalam hati membayangkan kotoran yang baunya saja sudah begitu
menyengat. Kupijit hidungku.
“Kun, buka pintu WC dan semprot aku ya” kudengar suaranya dari dalam.
Sudah kusipkan air yg kuberi sedikit obat pel yang wangi. Kubuka kran
dan kutembakkan “water kanon” itu untuk membersihkan kotoran yang
menempel di sana. Lalu Mbak Narsih membalikkan badan, membelakangiku.
Pantatnya yang besar dan putih itu terpampang di hadapanku,”Semprot,
Kun….!” Aku arahkan dari bawah air itu menyemprot lubang anusnya.
“Sudah bersih belum Kun?” Mbak Narsih nungging, terlihat dua lubang
dobel. Berwarna pink semuanya. Ooo, seperti ini bentuk tempik perempuan dewasa dari dekat? Celanaku semakin mengggembung.
“Sudah belum? Kok lama sekali lihatnya?” dia protes
“SSssuudah…Mbak, jelas sekali…eeehh bersih sekali” aku jadi salah tingkah dan keseleo lidah.
“Sekarang ambil sabun. Tolong sabunilah biar hilang baunya. Tanganmu gak akan kena kotoranku lagi”
Haaaa…. Menyabuni “ituuu?” Aku kok jadi bersemangat, tapi kusembunyikan
kegiranganku itu dengan bersikap senormal dan setenang mungkin. Kugosok
anusnya dengan sabun, lalu kemaluannya secukupnya, kemudian kubilas lagi
dengan semprotan air wangi tadi..
Pengin-nya aku mau lama-lama, tapi aku malu. Waktu meraba belahan
kemaluan Mbak Narsih tadi, punyaku berkedut-kedut hebat seperti mau
kencing.
“Kun, kok cepet-cepet, ya nggak bersih dong.” Sergah Mbak Narsih dengan raut marah.”Ayo lagi”
Aku ambil sabun lagi. Lubang duburnya kuusap-usap pelan, dari belakang
kulihat bokong putih itu terangkat-angkat saat aku mengusap tadi.
Seluruh permukaan bokongnya kusabuni dengan penuh perasaan. O,
bersihnyaaaa..ooo putihnya…. Lalu kutelusupkan jariku maju ke “garis” di
depan sana. Ternyata jariku “keceplos” ke dalam alur yang basah dan
hangat. Di dalam terasa ada keduta-kedut yg menjepit jariku. Seperti
aliran listrik, menjalar ke celanaku terasa juga kedutan kedutan liar di
yang semakin terasa.
“Terus saja, Kun, teruussss….. nah.. pinter kamu, Kun…” Mbak Narsih
menggumam seperti ngomong sendiri. Aku semakin tak bisa menahan kedutan
di celanaku. Tak terasa dan tak kusadari, jariku bergerak menusuk
semakin dalam ke “sana” seiring rasa yg kurasakan. Ujung jariku terasa
menggapai-gapai sesuatu yang menonjol di dalam “sana” dan Mbak Narsih
mendesis ; “Aaaaahhhh.. ssssshhh…” mendengar rintihan Mbak Narsih, aku
semakin “menderita” karena ada semacam gelombang getaran yang mau
menjebol benteng. Jariku bergerak maju-mundur semakin cepat, dan
gelombang itu semakin mendekat.”Aaaahhhh…Mbak..”
Bersamaan dengan itu Mbak Narsih juga merintih,”Ahh ssshhh,,,, aku keluaarrrr…oooohhhh”
Aku merasa ada yang keluar di celanaku. Aku ngompol! Padahal aku tidak
tidur? Tapi kok enaaak sekali? Tiba-tiba aku merasa malu, takut kalau
Mbak Narsih menoleh dan melihat celanaku basah. Mbak Narsih keliatan
lemes tapi wajahnya mengekspresikan kepuasan. Setelah kulap dengan
handuk seluruh tubuhnya, aku kenakan daster yang bersih. Rambutnya aki
sisir rapi. Mbak Narsih diam saja dengan sikap manis. Pagi ini terlihat
dia sangat cantik. Sambil menyisir rambutnya, kupandangi sepuasnya
makhluk cantik di hdapanku sepuas-puasnya.
Seminggu kemudian Mas Pras pulang. Perban sudah dilepas, tapi tangan jadi belang.
“Kenapa, Sih, tanganmu?” Mas Pras terlihat kuwatir.
“Kompornya meledak. Untung ada pahlawan kecilmu.” Mas Pras mengelus
kepalaku. dia tersenyum. Aku jadi bangga campur nalu. Aku khawatir Mbak
Narsih cerita kalau aku menyeboki dia. Aku berdebar-debar terus. Untung
Mbak Narsih malah cerita kalau aku ternyata pinter masak.
“Dik Narsih, Kuntadi ini juara masak dalam lomba masak di sekolahnya.
Dia juga bintang lapangan basket.” Pujian Mas Pras membikin aku semakin
malu saja. Meskipun itu memang benar.
Malam itu aku sudah bebas tugas menjaga Mbak Narsih. Kecuali tangannya
sudah pulih, Mas Pras sudah datang. Jadi biarlah semuanya dilayani oleh
suaminya. Aku menjatuhkan diri di sofa kamar tamu disergap rasa lelah
luar biasa dan langsung tertidur lelap. Padahal itu baru jam enam sore.
Tengah malam, aku terjaga. Sayup- sayup aku mendengar suara orang
menangis, tetapi diberangi suara mendengus-dengus….Aku diam
mendengarkan. Itu datangnya dari kamar Mas Pras. Ahhh…rupanya Mas Pras
sedang “anu” dengan Mbak Narsih. Aku harus pura-pura tidur lelap. Aku
merasa tidak sopan kalau nguping kegiatan mereka. Tetapi mataku tak mau
dipejamkan lagi. Aku memang sudah puas tidur sejak petang tadi. sekarang
mendengar suara Mbak Narsih nerintih dan menangis…. jadi ingat kejadian
di kamar mandi kemarin. Terbayang lagi tubuh Mbak Narsih yang seksi dan
putih mulus. wajah cantiknya ketika menangis sambil berkata,” kamu
…baiiik… Kun”. Ada perasaan aneh menguasai diriku. Tak ada lagi wanita
galak, yang ada wanita cantik yang pernah aku raba seluruh tubuhnya.
Beraneka pikiran berkecamuk di kepala mengantarkanku ke alam mimpi
indah, bertemu wanita cantik… wanita itu memperliatkan tubuhnya yang
telanjang bulat. Kemaluannya didekatkan ke batangku Dia mendekatkan
lubang itu ke arahku lalu memasukkannya ke sana. Suatu rasa yang nikmat
menjalari sekluruh pori-pori kulitku dan…….ketika terbangun celanaku
basah.
Tak terasa sudah dua bulan aku ikut Mas Pras. Beliau masih sering tugas
luar kota. Kali ini beliau ada di Lampung dan Palembang selama dua
bulan. Gaji hanya dititipkan kantor. Aku sering disuruh Mbak Narsih
mengambil gajinya di kantor Mas Pras. Meskipun Mbak Narsih sudah baik,
tapi sifat judesnya tak mau hilang. mungkin sudah pembawaan. Wah…. Kalau
memerintah… harus dilaksanakan tanpa protes. Aku membuat kelalaian
sedikit saja, bisa dia “menyanyi” sepanjang hari. Maka aku harus
hati-hati kalau ngomong atau bertanya sesuatu. Aku harus membereskan
semua pekerjaan di rumah, baru aku berani keluar untuk maen. Paling suka
aku ke lapangan maen sepakbola dengan anak-anak tetangga pada sore
hari. Kalo pagi aku suka “menghilang” di rumah Oom Yanto tetangga depan
rumah untuk baca Koran atau majalah. Bulik Saodah cukup ramah. Dia
mengerti kalo aku sedang “mengungsi” di situ, Aku sering curhat kepada
Om Yanto dan isteriya tentang perlakuan Mbak Narsih.
“Kenapa ya, makin hari Mbak Narsih makin sering marah-marah tanpa tahu sebabnya?”
“Sabar dan cuek saja. Mungkin dia jengkel karena Mas Pras nggak
pulang-pulang.” Om Yanto mencoba menganalisa. “Maklum kan manten anyar?”
“Dia tidak marah sama kamu Dik Kun,” Bulik Saodah menambahkan, “ tapi
sama keadaan rumah yang membosankan. Dia butuh hiburan, penyegaran.” Aku
sedikit memahami penjelasan mereka.
“Dik Kun saya nilai anak yang baik, lho. Jaman sekarang, hampir tidak
ada anak laki-laki yang bisa trampil ngurus pekerjaan rumah tangga.”
Bulik mencoba memberi support dan aku merasa terhibur.
Meskipun aku di rumah Om Yanto, tetapi aku selalu mengawasi keadaan
rumah. Supaya kalau sewaktu-waktu dicari, aku sudah siap datang.
Terlambat sedikit, bisa pecah kemarahannya.
Jam satu, saatnya makan siang. Aku harus pulang, menyiapkan meja makan.
Memang aku merasakan, sepertinya aku ini bukan sebagai adiknya Mas Pras,
tetapi lebih sebagai pembantu rumah tangganya Mbak Narsih. Tetapi
sampai di rumah, aku melihat piring kotor dan gelas kosong di meja
makan. Sayur juga sudah ada di meja makan. Berarti Mbak Narsih sudah
makan. Tetapi kok nggak ada. Aku menengok ke kamar tidurnya, tidak ada.
O, pasti di kamar mandi. Ya, sudah aku makan sendiri saja. Baru satu
sendok aku makan, terdengar suara dari kamar mandi, “Hooeeeek……” Aku
berhenti makan dan berdiri bimbang, harus apa aku? “Hoooeeeek….” O,
mungkin ini tanda Mbak Narsih hamil. Aku mendekati pintu kamar mandi.
“Sakit, Mbak?” “Hoooeeeek…” itu jawabannya. Aku mencoba mengetuk pintu
kamar mandi yg terbuat dari seng itu, ternyata tidak dikancing, Kriiiit…
terbuka dengan sendirinya. “Kun, aku mual banget.” Aku masuk dan
menggandengnya keluar. Kududukkan di kursi ruang makan. Dia lalu
merebagkan kepalanya di meja makan. Lemas. Badannya basah kuyup keringat
dingin. “Sudah makan, Mbak?” sebetulnya aku nggak perlu Tanya, jelas
baru saja dia makan dan habis banyak. Itu bisa dilihat dari sisa nasi di
tempat nasi. “Sudah. …..Kun….bawa aku ke tempat tidur.” Lirih suaranya.
Kupapah jalannya ke kamar. Satu tangannya di pundakku. Satu tanganku di
pinggangnya.
Kurebahkan pelan-pelan tubuhnya dan kuberi bantal yang agak tinggi.
‘Kamu kok lama sekali di rumah Mas Yanto. Enak di sana ya?” pelan suaranya, tapi terasa menusuk perasaanku. Aku merasa bersalah.
”Aku …aku cuma baca-baca koran kok Mbak. Di rumah kan nggak ada bacaan.”
“Aku tau Kun” Mbak Narsih meraih tanganku disuruh duduk di tepi tempat
tidur. “Mbak Narsih galak, kan?” Aku benar-benar jadi kikuk. Mau ngomong
apa? Mau bilang tidak, nyatanya memang dia galak. Mau bilang nggak,
pasti dia tau kalau aku bohong.
“Aku cuma takut saja, Mbak, kalau pas marah.”
“Maafin Mbak, ya Kun. Aku merasa sendirian kalau kamu pergi main atau
kamu begitu krasan di rumah Mas Yanto.” Mbak Narsih menarik diriku
hingga mukaku jatuh ke wajahnya. Diciumnya bibirku.
Lidahnya memaksa mulutku untuk terbuka. Di kulumnya bibirku. Aku
gelagapan, tapi aku tidak berusaha menghindar. Rengkuhan tangannya
begitu lembut penuh kehangatan. Kita berdua berciuman beberapa saat.
Mula-mula aku pasif tapi lama-lama aku bisa mengikuti caranya. Lidanya
pun kadang kusedot. Karena aku tidak bisa benafas aku mencoba melepaskan
diri.
“Kun, …… jangan tinggalkan Mbak sendirian” matanya sayu dan mengiba.
Sama sekali tidak terlihat galak dan judesnya. Sungguh penampilan yang
sangat berbeda.
“Bisa pijit aku ya Kun, biar agak enteng mualku?” pintanya sambil
memegang erat kedua telapak tanganku. Tatapan matanya menyihirku untuk
mengangguk. “Pintunya ditutup dulu, nanti ada kucing masuk” Aku segera
menutup pintu depan. Memang kucing putih punya tetangga sudah dua kali
membongkar tudung saji di meja makan. Aku kembali ke kamar sambil
membawa obat gosok.
“Gak usah pake minyak itu. Panas. Dipijit saja pelan-pelan. Lututnya
dinaikkan dan roknya melorot ke pangkal paha. Kini nampaklah pahanya
yang putih itu. Kupijit lututnya pelan-pelan. Aku tidak berani pegang
pahanya. Tetapi dia malah menarik roknya lebih ke atas dan menyuruh
pijit pahanya. Aku pijit dengan ragu-ragu. Telapak tanganku merasakan
kulit Mbak Narsih begitu hangat. Pijatan-pijatan ku menjadi tidak
terarah, karena saat kulirik ke atas, di pangkal paha itu….. tak ada
secuil kain pun menutupi kemaluan Mbak Narsih. Keringat bermunculan di
wajahku, mataku jadi terasa panas. Gigiku gemeletuk seperti kedinginan.
Aku heran, kenapa aku ini. Apa aku ketularan sakitnya Mbak Narsih.
“Mijitnya pindah ta, Kun. Kok di situ terus. Paha yang satunya.” Sambil
bilang begitu dia mengangkat pantatnya dan melolos roknya lepas. Kini
tubuhnya bugil-sebugil-bugilnya. Tanganku dipegang dan dituntun ke garis
di tengah tenpiknya. Aku menurut saja. Kuurut-utur bibir bawahnya yang
segera basah dan terbuka sendiri. Kulihat cairan bening mengalir.
Tubuhku semakin gemetar dan rasanya ingin sekali aku kencing. Kemaluanku
mengeras sehingga seperti terjepit rasanya.
“Mbak, aku mau pipis dulu….” Aku memberanikan diri memohon.
“Sini, sini, aku lihat. Apa kamu benar-benar mau pipis.” Diturunkannya
celanaku dan dikuakkan CD-ku ku samping, sehingga batangku yang sudah
sekeras pentungan satpam itu teracung. Aku malu sekali. Tapi aku juga
ingin benda itu dipegangnya. Dibelai-belainya “helm”ku dengan lebut.
Segera gelombang kenikmatan mengalir seperti listrik ke pusat syarafku.
Tangan kiriku masih di lubang tempiknya dan terus mengorek-ngorek di
kedalamannya. Kurasakan dinding-dinding lembut yang hangat dan basah itu
berkedut-kedut. “Mbak…Mbak…aduuuuh sudah Mbak…aku mau kencing Mbak…”
Dilepaskannya kemaluanku dan menurun pula irama gelombang itu, Anehnya,
aku merasa kecewa, ingin dipegang tangan Mbak Narsih lagii. Aku melihat
susu yang begitu montok dan putih menntang dan didorong oleh nafsu yang
sudah mendidih, kuremas dan kuelus bukit kembarnya. Aku lupa diri.
Malahan tanpa disuruh aku mengulum ujung susunya yang kemerah-merahan
itu. Kiri, kanan, kiri lagi. Mbak Narsih menggelinjang dan mendesis.
“Enak Kun….yang kanan Kun…”
“Terusss…Kun, kamu pinter yang kiriiii……terussss…. Dipijit-pijit terus…”
Entah kapan aku melepaskan pakaianku, tau-tau aku sudah tak berpakaian
lagi. Aku berdiri di samping tempat tidur. Mbak Narsih menyorongkan
lubangnya di depanku. Pahanya dinaikkan di pundakku. Terasa berat
kakinya bagi tubuhku yang masih kerempeng.
“Kun, masukkan ke situ,,,,,cepat….aku sudah nggak tahan…”
Aku kagum melihat punyaku bisa sebesar dan sepanjang itu. Belum pernah
kulihat sebelumnya. Sepertinya hari ini sudah berubah jadi naga raksasa.
Kudorong pelan-pelan kerah lubang Mbak Narsih yang putih kemerahan itu.
Pertama kali menyentuh bibir bawahnya, aku merasakan kenikmatan yang
belum pernah aku rasakan. Geli tetapi enak. Makin ke dalam semakin
hangat dan nikmat. Tak kuhiraukan rintihan Mbak Narsih, dia menangis
seperti malam-malam dulu ketika bersama Mas Pras.
“Kuuuuunnnnn……. tusuk yang dalam…..dalam….dalam….ahhhhh”
Kini gemeretak gigiku sudah hilang, tetapi keringat membanjir luar
biasa. Demikian pula Mbak Narsih, sprei jadi kusut dan basah kuyup.
Diputar-putarnya pantatnya, sehingga aku makin kesetanan menusuk. Mbak
Narsih terus duduk dan aku diberi dua bola bulat putih untuk kupetik dan
kukulum. Tapi aku tidak kuat menahan beban tubuhnya. Kujatuhkanlah dia
ke kasaur, lalu aku naik. Setan sudah menguasaiku. Mbak Narsih kini
telentang, wanita cantik yang galak dan judes itu, kini menyerah di
bawah sana. Kedua pahanya yang mulus dan putih kubentangkan, sehingga
kemaluannya semakin terbuka. Sambil berlutut kusodokkan lagi senjataku
ke sana. Terasa lebih dalam sekarang, karena ada ruang yang lebih bebas.
Terdengar suara crop crop crop, seperti memompa dengan kelep yang
basah. Wajahnya yang cantik itu menyeringai jadi jelek karena menahan
rasa nikmat yang luarbiasa . Mulutnya menganga, matanya menatap liar.
Hossss…..husssss…hhhhh…..napasku dan napas Mbak Narsih seperti seperti
nafas orang berlari mendaki bukit. Makin cepat gerakan maju-mundurku
semakin memuncak terasa gelombang datang bergulung-gulung berusaha
menjebol benteng pertahanan. Mbak Narsih mengangkat pantatnya, tangannya
menekan kuat-kuat pantatku sehingga batangku tertancap dalam-dalam di
lubang kenikmatan itu saat pertahanku jebol. Mbak Narsih juga sama,
cengkeraman tangannya di pantatku begitu kuat seakan kuku-kukunya
tertancap di dagingku.
“Kuuuunnnn……………akuuuuuuuuu……keluar…..”
“Mbaaaaaakk……..oooohhhhh……..” berapa kali senjataku memuntahkan peluru
aku tak sempat menghitungnya. aku terkulai di perut Mbak Narsih.
Keadaan jadi sunyi sekarang. Kupeluk kakak iparku. Dia pun memelukku
bagaikan seorang ibu memeluk bayinya di pangkuannya. Badanku memang
terlalu kecil dibandingkan tubuhnya yang bongsor
Mulai saat itu secara teratur aku diberi ( atau memberI ) ” jatah
harian” di saat-saat Mas Pras tidak ada di rumah. Kalau sifat galaknya
kambuh itu tanda Mbak Narsih “minta”. Benar kata Bulik Saodah, Mbak
Narsih kesepian dan haus minum “es lilin”
Sekarang baru aku tau bahwa saat itulah aku kehilangan keperjakaanku.
Setaun kemudian aku lulus SMP Saat itu Mbak Narsih melahirkan. Anaknya
cewek berkulit hitam seperti kulitku. Padahal Mas Pras dan Mbak Narsih
itu putih semua. Nggak taulah. Itu anak siapa? Tapi sampai cerita ini
kutulis, Mas Pras tetap mengira kalau Shamira itu anaknya. Anak
tunggalnya, Mbak Narsih tak pernah hamil lagi, menurut dokter (Mbak
Narsih member tahuku ) Mas Pras punya gangguan kesehatan.
Dalam kisah sebelumnya aku telah menceritakan perubahan hidupku yang
drastis setelah kematian ibuku. Aku terpaksa ikut Mas Pras saudara
semata wayangku, sebagai pengganti kedua orangtua ku yang sudah tiada.
Aku harus beradaptasi dengan isteri Mas Pras yang judes dan galak.
Karena kepepet aku berusaha bertahan di “neraka” itu, tetapi karena
kompor meledak itu pula Mbak Narsih, kakak iparku itu akhirnya mau
menerima keberadaaanku. Kebetulan saja aku sebagai anak laki-laki punya
keterampilan memasak yg diwariskan almarhumah ibuku. Dari kenyataan
itulah Mbak Narsih tidak lagi menganggapku “cah lanang isane opo”
Saat-saat yang selalu teringat dan terukir mendalam dalam hatiku adalah
kemesraan sesaat yang kurasakan ketika merawat Mbak Narsih. Pribadi yang
keras dan menakutkan itu suatu saat berubah menjadi seorang yang sangat
lembut yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Rasanya aku sedang
bercumbu dengan singa betina yang setiap saat bisa menjadi ganas dan
mematikan. Ada rasa takut bercampur nafsu birahi yang berkobar.
Sifat dan watak Mbak Narsih itu sudah mendarah daging, merupakan sifat
bawaan, tak kan pernah berubah selama hidupnya. Jika dia baik dan lembut
itu hanya sesaat, seakan-akan “lupa”. Dalam keadaan normal, watak
aslinya itu keluar dan itu berarti aku kembali hidup dalam suasana
terror mental. Sedikit saja kesalahan yang aku buat, sengaja atau tidak.
Pasti dia marah. Cuci piring tidak bersih apalagi cuci gelas, mudah
sekali ketahuan kalau tidak bersih. Gelas tidak boleh bau amis atau bau
sabun. Kalau itu terjadi, semua gelas di rak diturunkan dan dicuci ulang
semuanya, SENDIRI. Mulutnya ngomel menyindir dan memakai
ungkapan-ungkapan yang menyakitkan perasaan.
“Eee, paringana kuwat. Memang aku nggak kuat bayar pembantu. Ya, nyuci
sendiri. Keliatannya saja bersih. Mata bisa ditipu, hidung nggak bisa
ditipu.” Mulutnya terus nyerocos disertai suara benturan-benturan gelas
berkelotakan seakan mau pecah. Kasar sekali. Berisik sekali. Aku
bertahan .
“Sudah bosan ikut kakaknya. Di sini harus kerja. Bisa saja makan tidur,
kan punya pembantu. Pulang sekolah belajar, dengerin radio. Wah, enake,
jadi murid teladan.”
Aku diam saja. Orasinya berkembang dari masalah gelas, ke masalah lain
yang semuanya bikin panas hati. Mana berani aku menjawab? Bisa saja aku
melawan, tapi itu berarti mengakhiri hidupku sendiri. Ke mana lagi aku
harus hidup? Aku ingat almarhum ibuku yang lembut dan penuh kasih. Aku
hanya bisa menangis dalam hati. Tak ada lagi kasih sayang ibu. Biasanya
Mbak Narsih terus mendiamkan aku hari itu. Sebelum beliau ngajak omong,
aku belum berani menyapa. Dalam situasi perang dingin seperti itu, aku
dibuat “mati langkah” karena semua pekerjaan rumah, sudah dia kerjakan.
Mbak Narsih pada dasarnya ibu rumah tangga yang rajin. Aku jadi semakin
tidak enak saja. Belanja, masak, cuci piring sampai ngepel, semua sudah
diberesi. Ah, masih ada, Ada pakaian kotor ( termasuk pakain dalamnya)
segera ku bawa ke sumur umum. Lega rasanya, masih kebagian sedikit
pekerjaan. Itu artinya aku menang. Sehabis mencuci, Mbak Narsih, menyapa
aku.
“Enak ya? Semua pekerjaan sudah beres?” aku tidak menjawab. meskipun
masih terdengar keras, namun aku sudah merasa tenang, paling tidak aku
sudah disapa. Lalu esok hari suasana sudah normal lagi.
Dalam situasi dimarahi, aku merasa hidup sendiri. Bahkan saat ada Mas
Pras pun, Mbak Narsih tetap “menyerang”. Seakan Mbak Narsih mencoba
menunjukkan bahwa aku “tidak beres” kerjanya. Sayang, Mas Pras termasuk
kelompok sukutri (suami takut istri). Di situlah hidupku benar-benar
tertekan. Anehnya, di saat seperti itu pula, aku teringat atau suka
mengingat saat-saat manis bersama Mbak Narsih. Saat dia minta dicumbu.
Kubayangkan matanya yang redup dan rntihannya yang “memilukan” saat
memperoleh kenikmatan dariku. Rasanya tidak mungkin beliau bisa bersikap
sekasar itu saat ini. Sampai jauh malam mata tak bisa dipejamkan.
Kuingat tadi siang saat aku “pura-pura”belajar ( karena semua pekerjaan
sudah diberesi) aku sempat melirik sebentar saat Mbak Narsih mandi di
luar kamar mandi, karena kamar mandi dikuras. Dia hanya pakai kain
panjang untuk basahan. Meskipun aku takut sama galaknya, tapi tergoda
juga untuk melirik menikmati kemulusan kulitnya. Putih mulus tertimpa
temaramnya sinar matahari dari genteng kaca.
Dia menyabuni payudaranya yang bulat dan mulus itu dengan bebas,
seakan-akan hanya dia saja yang ada di rumah ini. Membayangkan
penampakan siang tadi dalam kesunyian pekatnya kamarku, tak terasa
mulutku berbisik litih. “ Oh, Mbak Narsih…”
Aku tidak habis mengerti, kenapa di setiap saat beliau marah-marah, cara
duduknya atau cara berpakaiannya di rumah seenaknya sendiri. Kalau
tiduran di sofa, pahanya dinaikkan di meja tamu, dibiarkan tersingkap
lebar. Aku berjalan menunduk saja saat menuju kamarku. Aku tahu Mbak
Narsih mengamati langkah-langkahku sampai aku masuk kamar. Suasana diam
yang mencengkam
Siang itu seperti biasanya sesudah mengangkat semua jemuran, beliau
tidur siang. Kamarnya tidak ditutup, sehingga hampir seisi tempat tidur
itu terlihat jelas dari luar kamar. Meskipun tertutup kelambu, aku tahu
beliau tidak mengenakan pakaian apa pun. Cuaca Semarang bawah memang
panas. Kelambu hanya untuk menghindari nyamuk saja. Dulu Mas Pras belum
punya kipas angin. Terlalu mewah untuk kehidupan waktu itu. Dengan cara
demikian mungkin beliau merasa nyaman. Sambil makan siang berkali-kali
aku mencuri pandang kea rah kamar. Nasi dengan sup yang begitu banyak
kuah terasa susah ditelan . Konsentrasi makanku terpecah, selera makan
jadi hambar. Aku terlalu dini untuk mengalami pengalaman sex orang dewasa.
Sehingga aku ketagihan untuk terus merasakan lagi. Aku berharap Mbak
Narsih membuang guling yang dipeluknya, biar kulihat bukit kembarnya
yang putih dan kemaluannya yang merah jambu dan basah itu. Seperti tahu
yang aku inginkan, Mbak Narsih sekarang melepaskan gulingnya dan
menjepitnya dengan kedua pahanya. Sehingga terlihat jelas apa saja yang
tadi ingin kulihat. Susunya berdesakan terhimpit kedua tangannya.
Pahanya terbuka karena terganjal guling dan mataku tak lepas memandang
hutan lebat yang kurindukan itu. Lama sekali sendok terhenti di depan
mulut tak segera kumasukkan. Aku menelan ludah. Hilang nafsu makan.
Rasanya seperti ada yang menarikku untuk mendekat ke pintu kamar yang
terbuka lebar itu. Agak menyamping aku melihat ke dalam, menghindari
pandangan Mbak Narsih kalau tiba-tiba beliau terbangun. Aku berjingkat
mendekati dinding sebelah kanan pintu. Pemandangan indah semakin jelas.
Seandainya saja, kelambu itu tak ada, pasti kemulusan kulit nya akan
semakin nyata. Kuberanikan diri melongokkan sedikit kepalaku melihat ke
dalam. Mbak Narsih mendengkur halus. Enak sekali tidurnya. Ah, wajah
yang sangat cantik. Alisnya yang hitam tebal jadi semakin indah jika
matanya terbuka. Kakak iparku ini memang mirip sekali dengan Cici
Faramida. Saat tertawa, barisan giginya yang rapi dibalik bibirnya yang
tipis menambah kecantikannya. Aku tak tau sebabnya, kenapa tubuhku
menggigil. Gigiku gemeletuk seperti kedinginan. Degup jantungku semakin
kencang . Mukaku terasa panas. Ada dorongan yang sangat kuat tak
tertahankan untuk terus mendekati tempat wanita cantik itu pulas
tertidur. Napasku memburu. Batangku sudah menegang sejak masih di meja
makan tadi, kini semakin mengeras saja. Ketakutanku akan sikap galaknya
dikalahkan dengan berkobarnya nafsu remajaku. Pelan-pelan kutarik
kelambu sialan yang menghalangi pandanganku. Srrrrrttt! Pelan dan halus
kutarik. Lagi, srrrrtttt! Nah, sekarang lebih jelas. Oooohhh….
Putihnya……tubuhnya yang mulus itu indah sekali. Tak terasa mulutku
berbisik lirih, “Ohhh Mbak Narsih…….”
Aku kaget sendiri mendengar suaraku itu. Lebih terkejut lagi saat
kudengar suara Mbak Narsih, seperti orang mengigau, “Kuuuun, sini!”
Aliran darahku seperti berhenti. Aku jadi takut sekali. Tapi aku juga
penasaran, jangan-jangan aku salah dengar. Mau keluar dari kamar sudah
terlambat. Aku hanya berhenti terpaku dengan kaki menggigil. Takut
sekali. Benarkah dia memanggil aku tadi?
‘Sini……….jangan berdiri saja.” Matanya masih terpejam, tapi jelas kulihat mulutnya bergerak.
“Kamu sudah pengin……….Kun…….” Mbak Narsih memiringkan tubuhnya
membelakangiku. Dari nadanya sepertinya dia tidak marah. Berkurang
sedikit ketakutanku. Tapi aku tetap diam di samping tempat tidurnya.
“Kuuuunnnn……..” sekarang suaranya lebih keras, tapi posisinya masih
memunggungiku. Kuperhatikan bongkahan pantatnya yang bulat. Putih mulus.
Agak ke bawah kulihat warna hitam bersembunyi di balik nya. “Ayoooo
Kuuun……tunggu apa lagi.” Kini aku yakin dia memanggilku.
“Ya, Mbak…….…..” senang sekali aku disapa kembali. Aku merasa bahagia
dan damai. Kuberanikan diri mendekat dan duduk di pinggiran kasurnya.
Mbak Narsih masih diam. Tanganku sudah gemetaran ingin menyentuh
pantatnya. Kusentuh pelan dan kurasakan hangaaaat sekali kulitnya.
Kuelus pahanya sambil kutunggu reaksinya. Masih tetap diam. Tapi tidak
ada penolakan. Kuelus pahanya yang putih mulus itu dan kurasakan
bulu-bulu lembut halusnya. Kehangatan kulitnya sangat terasa
mempengaruhi diriku. Aku jadi gerah sekali dan ingin membuka baju.
Kulempar keluar saja bajuku dan jariku kembali beraksi. Kini kuberanikan
diri menuju sudut htam di arah bawah pantatnya. Aaahhh…… kenapa basah
sekali? Ujung jariku masuk pelan-pelan ke lubang yang hangat dan licin
itu. Makin ke dalam semakin panas. Kudekatkan mukaku untuk melihat lebih
jelas bagian yang paling menarik itu. Inilah yang selalu terbayang
dalam kesendirianku. Kini terlihat nyata dalam jarak sangat dekat. Bau
yang khas dari bagian ini merangsang nafsuku semakin berkobar. Timbul
keberanian untuk menarik tubuh molek yang sedari tadi diam dan pasif
itu. Kutarik pahanya, ke arahku sehingga tubuh molek itu kini
terlentang, Lubang kenikmatan itu merah merekah dengan daging merah
jambu yang mungil menonjol di atasnya. Kusentuh lembut daging aneh itu
dengan lembut. Dia menggeliat. Kusentuh kagi, menggeliat lagi. Kulihat
mukanya mendongak disertai desisan halus “ Sssshhhhh….”
Ketika itu aku belum punya pikiran untuk menjilat benda itu. Belum
pernah kulihat film BF atau gambar porno. Aku terlalu lugu saat itu.
Jadi melihat tempik wanita dewasa, merupakan sesuatu yang baru, sangat mengasyikkan. Aku “bermain-main” dengan klitoris nya yang semakin membesar itu.
Begitu dekatnya mukaku ke lubang itu sehingga napasku yang panas terasa
oleh Mbak Narsih. Tiba-tiba tangan Mbak Narsih menekan kepalaku.
Hasilnya mulutku dan bibirku bersentuhan dengan “bibir”nya.
“Kuuuunnnn………..pakai lidahmu saja……oohhhh”
Kujilat tempik Mbak Narsih. Sama sekali aku lupa bahwa lubang itu
biasanya untuk kencing. Rasanya asin, tapi membikin ketagihan. Semakin
dalam lidahku menjilat, geliat tubuhnya semakin menghebat. Aku jadi
bersemangat.
“Kuunnn…. Itilku……itilku…..jilat terus…..” kujilat daging merah itu
dengan rakus. Seprei jadi kusut carut marut karena diacak-acak oleh
gliatan tubuh nya yang semakin liar. sampai tiba-tiba badan Mbak Narsih
menegang, pantatnya diangkat dan….. cairan hangat menyemprot dari lubang
itu. Seperti susu cair yang hangat. Hidung dan mulutku basah.
“Aaaaahhhh……..Kuuunn………” suara itu begitu merdu terdengar di telingaku.
Kini Mbak Narsih duduk matanya sayu memandangku. Aku yang biasanya takut
bertatapan mata, kini kutatap juga matanya. Kukagumi matanya yang lebar
dengan bulu mata yang melengkung indah. Tak ada kesan galak sama
sekali. Mata indah itu, mata Mbak Narsih yang sbekumnya menakutkan. Aku
merasa diajak berdamai. Aku bahagia sekali.
“Kenapa kamu panggil namaku, Kun?” dia bertanya lembut. “Kamu kangen….ya Kun?”
“Maafkan aku ya Mbak….aku sering buat Mbak marah…” wajahku ditariknya mendekat. Aku dicium.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bibir Mbak Narsih mengulum bibirku.
Lidahnya terjulur menerobos bibirku. Kusedot dan kurasakan basahnya
mulutnya. Aku berciuman dengan cara yang belum kukenal. Anehnya aku
merasa bahagiaaaa… sekali. Tanpa kupikirkan sebelumnya, tanganku sudah
meremas bukit-bukit empuk yang menempel hangat di dadaku. Kucari
ujungnya yang mulai mengeras itu. Kuremas lembut . Setelah bibir kami
lepas, bibirku mendapat sasaran baru. Ku sedot putting itu seperti bayi
netek. Tangan Mbak Narsih membelai rambutku. Matanya tak lepas dari
susunya yang sedang kuhisap itu. Bila susu kiri aku hisap, maka yang
kanan kuremas-remas. “Terusss….oohhh…”
Sambil menikmati sedotanku, tangan mbak Narsih melepaskan celanaku dan memegang batangku.
“Keras sekali…Kun….” Dia berbisik mesra.” Iiiiih.. panjang banget.”
Kulihat ke bawah, jari-jarinya yang putih itu mengelus-elus batangku
yang hitam. Ujung “helm” itu disentuh-sentuh lembut membuat aku
belingsatan.
“Aduuuuu ….Mbak…..aku nggak kuat” gelombang dahsyat bergulung-gulung
datang. Seperti tak mendengar rintihanku, gerakan tangannya malah
semakin cepat. Saat pertahananku hampiir jebol, dia berhenti. Ada rasa
kecewa tertahan. Kenapa berhenti. Kulihat Mbak Narsih mengamati batangku
dengan gemas. “Ditempelkannya ke wajahnya yang ayu dan putih. “O,
seperti ini, hmmmmahhh.
Kamu memang nakal, Huuuhh…..” dipukul-pukulkannya kemaluanku ke
hidungnya, ke pipinya. “Ooohhh besar sekali.!” Aku sendiri heran, kenapa
tongkolku bisa sebesar dan sepanjang itu. Wajahnya memerah dikuasai
nafsu birahi yang tinggi. Tak kukira sebelumnya, beliau mau menjilati
“kepala” helm yg kini memerah itu. Urat-urat di sepanjang batangku
menjadi bertonjolan dan berkedut-jedut. Mata beliau semakin liar dan……
hap….dimasukkannya seluruh batang itu ke mulut beliau yang terlalu indah
buat tongkolku yg hitam itu. Dikulum keluar masuk sampai batangku
basah. Air liur bening membasahi “helm” ku. Beliau mendorong lembut
tubuhku hingga aku terjerembab ke kasur.Mataku tak lepas memandang kagum
dan heran dari aktifitas mulut wanita cantik ini. Tak terlukiskan
nikmatnya…… Puas “makan” lontong hitamku, kini beliau jongkok dan
memegang batangku diarahkan ke lubang kenikmatan yang sudah amat basah
itu. Cairan putih memenuhi bibir tempiknya yang putih itu. Begitu gagah
batangan ku memasuki lubang sugawi. Tangan beliau mengarahkan dan
menggosok-gosokkan “helm” itu ke “kacang” ajaib disertai desisan
kenikmatan…Ssssshhhh……mata beliau konsentrasi penuh ke sana dan…….
blessss ……….aaahhhh…….hampir bersamaan aku dan beliau mengerang,
meraskan “penderitaan” yang sama. Badanku tampak kecil dibandingkan
pantatnya yang super lebar. Bibir tempiknya merekah lebar diterjang
benda panjang hitamku. Mbak Narsih aktif menarik maju mundur semakin
lama semakin cepat. Kadang-kadang beliau mendongak menahan rasa nikmat
yang melanda syaraf-syarafnya. Kadang diputar-putar pantatnya,
menimbulkan denyutan-denyutan yang luar biasa nikmat. Oh…Mbak……terus
Mbak……enak sekalii….ooohhh……
“Enak….Kun…….adddduuuh……Kun……punyamu kok bisa begini…..ssshhhh……sssss……”
terus menerus kata-katanya tak berhenti…..seperti bicara tanpa
kesadaran…..
Gerakannya semakin liar dan semakin cepat. “Aahhhh…..oohhh…..uuuuu……”
beliau menangis sambil menambah kecepatan gerakannya. tongkolku jadi
sakit karena terlau tegang dan panas. Tiba-tiba semua gerakannya
berhenti dan……serrrrr…. Cairan hangat membanjiri kemaluan dan
perutku……Beliau melepas batangku dan terguling ke sampingku.
“Aku….le….mes…..ba….nget….Kun….”
Meskipun kecewa karena aku belum puas, melihat wajahnya yg kuyu dan lemas, aku iba.
“Kesel…Mbak……” kuelus wajahnya dengan penuh perasaan. Saat itu aku
merasa sayaaaaaang sekali pada wanita yang galak itu. Kucium pipinya,
dan…..kuberanikan mencium bibirnya. Kami berciuman mesra sekali.
Direngkuhnya badanku, kini aku rebah di atas badannya yang licin
bermandi peluh. Cukup lama kami berciuman sampai tangan beliau
mencari-cari batangku dan diarahkan ke lubang itu lagi.
“Masukkan…..saja, Kun…..aku mau lagi…..”
Dalam posisi bersimpuh kumasuki lubang kenikmatan itu. Kulitnya yang
basah oleh peluhm menjadi berkilat dan keliatan indah sekali. Kamar yang
agak gelap itu menjadi terang oleh pantulan cerahnya kulit putihnya.
Aku terangsang sekali. Pelan-pelan aku gerakkan maju dan mundur. Lubang
itu agak kering sekarang. Merasa tidak nyaman. Aku cabut keluar dari
lubangnya. Aku bermaksud berdiri di samping kasur. “Kuuuun…..kok
dilepas…….ayo…….” beliau merintih memohon. Biasanya dia main perintah
dan harus dipatuhi, sekarang singa betina itu merintih memohon. Aku
tidak menjawab, langsung turun sambil menyeret kedua kakinya ke tepi
pembaringan. Kubentangkan lebar kedua pahanya. Pangkal pahanya tampak
merekah menantang. Aku sengaja tidak segera memasukkan tongkolku, aku
ingin dengar rintihannya, jriku mempermainkan daging itilnya saja.
“Kuuuun….. ayo…..jangan main-main itu….. cepet masuk…masuk…ooohhh….”
Puas aku mendengar rintihan beliau. Kuarahkan batangku ke lubang iu
dan……blessss….Ternyata lubang itu kini sudah basah lagi. Beliau
mengangkat tinggi-tinggi kakinya sehingga tanganku terbebas tidak
menyangga lagi. Kini aku raih kedua bukit kembarnya yang
terpantul-pantul karena goyongan tubuhnya yang kusodok-sodok.
“Enaaak….Kun…..Enak…ya…..Kun……?” mulutnya terus nyerocos tapi matanya terpejam.
Aku bergerk maju mundur dengan irama pelan. Kunikmati setiap gerakan.
Kurasakan makin pelan aku menggerakkan, tongkolku terasa digigit atau
dijepit oleh “bibir” beliau.
“Kun cepet… sing jeruuuuu……oooh…..oohhh……sing jeru…..”
“Iya…Mbaaaaakk……..ini….Mbak…. aaaahhh…..”
Udara kamar terasa semakin panas. Keringat sudah membanjir…..nafsu sudah sampai kepala.
Kupercepat gerakan, makin lama makin cepat dan tusukan semakin dalam.
Plak plak plak….kreet….kreeet…..suara daging beradu dan kerenyit tempat
tidur mengiringi tarian birahi aku dan beliau. Jepitannya semakin
kenceng dan denyut-denyut diujung kemaluanku semakin
terasa….”Mbaaaaakkkk….iki….piyeeeee…… addduuuh…..” Aku sudah sampai di
ujung perjuangan.
“Tungguuuu……akuuu….ke….lu….ar……Kunnnnn.” Pantatnya berputar liar dan
tangannya mendorong pantatku sampai mepet . Crooottttzz……Seeerrrr. Kami
mencapai klimax bersama.
Kupeluk Mbak Narsih. Kurebahkan kepalaku di atas susunya yang empuk.
“mBaaak….. aku sayaaaang sama Mbak Narsih.”
Mbak Narsih tidak menjawab, tetapi ganti memeluk erat tubuhku. Aku
berharap semoga beliau tetap seperti ini. Tidak marah-marah lagi. Tetapi
aku menyadari kenyataan seperti orang Semarang bilang….watuk iso mari,
nek watak….kapan marine? Watak adalah kodrat manusia yang tidak mampu
manusia mengubahnya.
Dalam serial sebelumnya, para pembaca pecinta CCS Bluefame, sudah tau
bagaimana watak Mbak Narsih. Mudah marah, perfeksionis dalam urusan
kebersihan rumah tangga, dan sekarang baru aku tau, kalo beliau itu juga
eksibisionist, suka menggoda dengan memamerkan tubuhnya yang seksi.
Meskipun sifatnya itu hanya di dalam rumah saja.
Sudah sebelas hari Mas Pras belum pulang. Selama itu pula aku bersikap
sangat hati-hati, tidak ingin kena marah lagi. Aku ingin memelihara
suasana damai dengan Mbak Narsih. Setelah kejadian “santap siang” itu
sikap beliau baik. Tapi aku tetap hormat dan takut. Beliau juga tak
pernah bicara soal itu. Seolah-olah tak pernah terjadi. Aku tidak berani
lagi mengintip-ngintip. Aku tau diri dan berusaha menghormati Mas Pras.
Aku juga sudah kepengin ketemu Mas Pras. Beliau janji mau mencarikan
aku sekolah, sudah 3 bulan aku tidak bersekolah.
“Masmu kok belum pulang ya Kun?” matanya memandang ke pintu. Keliatan
kalo beliau sudah kangen sekali kepada suaminya. Lampu Petromax semakin
redup, butuh dipompa lagi. Aku menurunkan lampu itu dan memompanya.
“Sudah sebelas hari, Mbak.” Jawabku sambil memompa lampu menjadi semakin
terang lagi.
“Kamu hitung, to Kun?” Mbak Narsih heran. Ternyata aku peduli dg Mas Pras. Sekarang dia melihat aku yang masih memompa lampu.
“Aku kasih tanda tuh di kalender.” Alasan sebenarnya aku memberi tanda
karena ingin mendapat kepastian, kapan aku bisa masuk sekolah lagi. Aku
menunjuk kalender di dinding kamar tamu. Mbak Narsih berdiri mendekat
dan memperhatikan dengan cermat kalender itu.
“Kok kamu tulis DM. DM, DM, apa sih artinya” Mbak Narsih menatapku heran.
Aku terkejut, addduuh! Itu artinya kan “damai”. Tapi aku harus ngomong
apa??? Kemungkinan ini tak kuduga sebelumnya. Sambil mencantelkan lampu
aku berpikir keras mau jawab apa. Sialnya karena silau dan gugup, tak
juga mau nyantel-nyanthel kolong lampu ini ke tempatya.
“Ayooo, apa Kun?” Mbak Narsih tak sabar menunggu jawabanku.
Daripada aku bohong kena marah lagi, yaaa lebih baik….
“Artinya damai, Mbak.” Aku menjawab lirih sambil melepaskan pelan-pelan
lampu yang sudah nyantel itu. Karena aku melihat ke atas Mbak Narsih
tidak tahu pucatnya wajahku.
“Daa….mai?” Mbak Narsih mengerenyitkan dahinya. “ Damai gimana maksudmu, Kun?”
“Mmm….” Sambil memijit-mijit tengkukku yang tidak pegal aku memandang Mbak Narsih malu-malu.
“Ayo, awas kalau bohong!” beliau berdiri berkacak pinggang. Wah, gawat!
“Maaakk….sud saaaayaa, ya damai dengan Mbak Narsih.” Akhirnya aku memilih jalan lurus.
“Lho, aku kan selalu damai sama kamu?” sekarang beliau duduk di dekatku
dan memandang lurus mataku. “Apa aku kamu anggap musuhmu?”
“Bukan begitu, Mbak.” Aku beringsut mundur, secara reflek aku takut.
“Justru aku senang selama sebelas hari ini Mbak Narsih tidak marah sama
aku. Aku merasa bahagia, kok Mbak.”
“Kenapa mundur-mundur, takut ya? Kalau tidak salah kenapa takut?” nada uaranya tidak galak lagi.
“Siapa takut, Mbak. Ini, aku berani maju.” Aku mendekat lagi bahkan lebih mepet.
Mbak Narsih tersenyum geli melihat sikapku. “Uuuu….cah nakal. “
dipijitnya hidungku dengan gemes.”Aduuuu Mbak, sakit” malam itu suasana
terasa mesra dan menyenangkan. Sampai jam sebelas malam kami berdua
ngobrol akrab. Sepertinya Mbak Narsih menunggu Mas Pras, tapi beliau
tidak bilang apa-apa. Mbak Narsih sudah menguap dan masuk ke kamar
tidurnya. Petromax saya matikan kuganti lampu tempel. Aku pun masuk
kamar, segera tidur nyenyak dengan mimpi indah. Aku tidak tahu bahwa jam
dua belas malam Mas Pras datang. Dalam mimpiku aku bertemu cewek
cantik. Cewek yg belum kukenal itu tanpa malu-malu mendekati aku dan
menciumi aku. Bajuku dibuka lalu celana ku diturunkan. Aku sekarang
tinggal memakai celana dalam. Dalam alunan musik dangdut cewek itu
meluk-liuk kan tubuhnya mengikuti irama sambil melepas pakaiannya satu
persatu. Kemaluanku menjadi tegang. Apalagi saat dia mendekat dan
mengelus-elus penisku dengan lembut, rasanya nikmat sekali Tiba-tiba aku
merasa sesuatu yang berat menimpa badanku dan kemaluanku terasa basah
dan hangat. Kurasakan nafas hangat dan berat menyapu wajahku. Aku
terbangun!
Mataku menatap kabur pada bayangan di atas wajahku di kamar ku yang
gelap itu. Beberapa saat pandanganku menjadi jelas bahwa itu wajah Mbak
Narsih. Aku bermaksud membuka mulut dan bertanya tetapi mulutku dibekap.
“Ssssst……..!” beliau menyuruh aku diam. Badanku yang kecil itu
merasakan beban yang lumayan berat dari tubuh wanita dewasa
itu. Beliau jongkok dan bergerak naik turun. Penisku merasakan
kehangatan di dalam lubang Mbak Narsih. Ternyata apa yang terasa dalam
mimpiku itu adalah kenyataan. Kini dengan sadar kurasakan kenikmatan
itu. Nafas nya yang memburu menandakan beliau sedang dilanda nafsu
birahi yang hebat.
“Kuuuun……puasi akuuuu……. “ beliau merebahkan diri di atas tubuhku dan
berbisik di telingaku. Aku berusaha menahan berat tubuhnya. Badannya
panas sekali. Bau keringatnya yang khas menyeruak membangkitkan nafsuku.
Kudorong tubuhnya ke samping, kini aku berhadap-hadapan dengan beliau
dalam posisi miring. Susunya yang bulat putih itu kuremas-remas, terasa
hangat dan kenyal. Telapak tanganku terlalu kecil untuk memegang
payudaranya yang padat bulat itu. sambil kusodok lubangnya dengan penuh
semangat. Setelah beberapa saat posisi seperti itu kurang nyaman
rasanya.
“Kamu……ssshhh. …kamu… di….ooouuh…di … atasssss….Kun…..” segera kuturuti
perrmintaan beliau. Aku merasa lebih leluasa melancarkan gerakanku. Kini
aku mendengar music dangdut yang kudengar dalam mimpi tadi. Mbak Narsih
menyalakan radio kecilku, yang gelombangnya tak pernah pindah dari
radio swasta spesial dangdut. Kapan pula beliau masuk kamarku?
Pertanyaan yang tak perlu dijawab, karena situasinya dalam keadaan
“perang”. Di kamarku yang remang-remang, kulihat di bawahku sesosok
wanita cantik, yang berhari-hari aku rindukan kehangatan tubuhnya. Mbak
Narsih merindukan kehangatan suaminya, dan aku ketagihan merasakan
kehangatan tubuhnya. Meskipun keinginan itu menggebu, tapi aku tak
berani meminta. Aku anak kecil. Aku hanya numpang hidup. Pokoknya aku di
posisi yang lemah. Kini tiba-tiba saja kesempatan itu datang. Setelah
memperoleh kesadaran penuh, timbullah dorongan hasrat yang sangat kuat.
Aliran darahku terasa semakin cepat. O, Mbak Narsih, …… kamu adalah
mimpi terindahku setiap malam. tusukanku semakin mantap. Kurasakan
sudut-sudut liang rahimnya yang hangat. Memperoleh serangan balik yang
dahsyat, Mbak Narsih memutar-mutar pantatnya. Pandangan matanya liar,
mulutnya menganga, kadang-kadang menyeringai menahan kenikmatan yang
merambati ujung-ujung syarafnya. Wajah cantiknya berubah ganas dan buas.
tetapi wajah itu tidak membuat aku takut, malah semakin terangsang. Aku
sudah lupa, bahwa wanita cantik yang menggeliat-geliat di bawahku
adalah wanita yang seharusnya kuhormati. Karena begitu bersemangat
sampai tempat tidurku yang sempit itu berkereyotan menimbulkan suara
berisik.
“Sssshh…. Jangan berisik….Kkkuuunnnh….hhffff….nan…ti…Mas
Prassss…..bang…bang…ngun..” tersengal-sengal Mbak Narsih memberitahu
aku. Hah? Ada Mas Pras? Edan tenan. Aku kaget sekali. Tak terasa
gerakanku melambat dan berhenti.
“Ayooo….. kenapa….terusss…keburu bangun dia….” Diangkat-angkatnya
pantatnya. Kembali kulancarkan seranganku semakin cepat. Kurebahkan
tubuhku di dada nya yang putih dan empuk itu. Kini jelas kulihat
wajahnya. Rambutnya awut-awutan. Napasnya yang panas menerpa wajahku.
“Mas Pras sudah pulang Mbak?” tanpa menghentikan gerakan aku bertanya
“Sudah, Kun….. ah Masmu payah.” Kuhisap-hisap putingnya sambil kuremas
bukit empuk yang putih itu. Tak tahan diisap dipeluknya tubuhku erat,
sambil mencurahkan keluhan hatinya
“Aku belum apa-apa……Masmu sudah keluar…..langsung loyo dan tidur”
“Aku nggak bisa tidur, lalu nyetel radiomu. “ beliau berhenti ngomong
lalu mencium bibirku. Kami berciuman dalam kesunyian malam dan iringan
irama dangdut. Suara radio ini dimaksudkan untuk menutupi “kegaduhan” di
kamarku ini. Setelah bibir kami lepas. Aku turun dari tempat tidur
diikuti Mbak Narsih. Beliau langsung berdiri membelakangiku, pantatnya
yang besar itu disodorkannya. Sudut kemaluannya yang gelap itu kontras
dengan bokongnya yang putih. Kuarahkan penisku ke sana. Karena terlalu
naik, tangan beliau membantu menuntun ujung tongkolku ke arah yang
tepat. Lagi-lagi kurasakan kehangatan yang nikmat itu. Kubenamkan
semakin dalam. Lubang itu terasa lebih sesak sekarang. Belum pernah aku
dalam posisi begini. Batangku yang panjang terasa bisa masuk lebih
dalam. Mbak Narsih merintih keenakan. “Terusssss…….,Kun…..cepet
ke…..aahhh ….cepet….ayo kamu juga keuarkan…..” Aku pun sampai di ujung
perjalanan, makin lama makin cepat. Lubang Mbak Narsih kali ini sudah
becek sekali dan……”Kuuun…..aaaahhhhhhh……..” dipeluknya aku dengan sangat
erat dan penisku terasa dijepit oleh benda lembut dan hangat yg
berkedut-kedut. Kubenamkan dalam-dalam kemaluanku dan memancarkan cairan
hangat ke liang senggama Mbak Narsih. Serrr….serrr…..ser….
Mbaaaakkkk……. Aduuuu…..aku keluar.” Beberapa saat kemudian beliau
menghentikan semua gerakan , terduduk lemas di tepi tempat tidur.
Setelah memperoleh kekuatan kembali, beliau beranjak keluar, menuju ke
kamar mandi. Aku duduk di sofa kamar tamu menunggu beliau keluar dari
kamar mandi. Masih bertelanjang, Mbak Narsih kembali ke kamarnya.
Aku segera mencuci “peralatanku” dan kembali ke kamarku.
Aku duduk di tepi tempat tidur dan merenung. Ada apa ini? Kucoba untuk
merangkai-rangkai berbagai kemungkinan. Mas Pras tengah malam pulang.
Pasti beliau sangat lelah. Mbak Narsih yang lama menunggu kedatangan
sang suami, mungkin minta “oleh-oleh”. Karena factor kelelahan atau
sebab lain, tugas Mas Pras belum tuntas. Wanita yang haus ini sudah lama
berpuasa, tentu nafsunya berkobar-kobar. Ibaratnya bertepuk sebelah
tangan, Mas Pras masih lelah. Lalu tidak mampu memberi kepuasan.
Kira-kira begitu. Akibatnya, karena tidak puas, ibaratnya makan belum
kenyang, lalu nambah. Mungkin, beliau ke kamarku, mempermainkan
burungku, sehingga tegang. Begitu bisa dipakai, segera dimasukkan dan
dipompa. Saat itulah aku terbangun. Aku juga tidak tahu penyebab
sebenarnya. Aku tidak berani bertanya. Hanya saja badanku terasa
pegal-pegal sekarang. Aku jatuh tertidur dan….. bangun kesiangan.
Aku takut keduluan Mbak Narsih. Segera aku bangun dan km dapur
menyalakan kompor. Merebus air dan mencuci beras. Untung, beliau masih
tidur. Kalau kedapatan aku bangun kesiangan, semua pekerjaan pasti
beliau selesaikan dengan cepat dan rapi. Aku bisa mati langkah dan siap
didiamkan berhari-hari. Lega rasanya. Sampai aku selesai mencuci pakaian
dan nasi sudah masak mereka belum bangun. Aku ambil uang belanja di
lemari dapur dan beli sayur ke warung. Pulang dari warung Mbak Narsih
dan Mas Pras sudah bangun. Aku menyapa dengan sopan, “Mas,tadi malam ya
pulangnya?”
“Heeh, gawekna kopi, le !” Mas Pras minta aku buatkan kopi. Kuseduh kopi
kental tanpa gula. Itu minuman favorit nya. Kutaruh beberapa bongkah
gula jawa di mangkuk kecil.
“Wah, pinter kamu Kun. Uenake.. kopi pait karo ngemut gula jawa.”
Katanya sambil menyeruput kopi hitam itu. “O, iyaa… kamu jadi sekolah
nggak?”
Aku tersenyum gembira, “ Jadi, Mas. Besok Senin Mas Pras masih di rumah?”
“Pokoknya sudah kuberikan dananya dibawa mbakyumu. Minta saja. “
maksudku kuminta Mas Pras antar aku cari sekolahan, tapi mungkin beliau
sudah harus kerja lagi. Ya, sudah nggak apa-apa Yang penting aku pasti
sekolah.
“Kenapa harus sama Mas-mu, malu ya dianter mbakyumu” tanya Mbak Narsih,
biasa nadanya galak, aku sudah terbiasa dengan sifatnya itu.
“Mboten, Mbak “ aku menjawab sopan dan menyatakan bahwa diantar Mbak Narsih aku juga mau
Karena semua pekerjaaan pai itu sudah kelar. Aku kembali ke kamar,
untuk…..tidur. Lelah sekali badanku setelah “berjuang keras” semalam.
Dari kamar kudengar mereka terus berbincang-bincang.
“Dik, keliatannya berat badanmu tambah ya?” kudengar suara Mas Pras yang nge-bas.
“Kok tau?”
“Itu rokmu pada kesempitan.”
“Mas Pras, sekarang harus percaya. Harus yakin.” Sepertinya Mbak Narsih serius.
“Maksudmu kamu bener-bener bisa hamil?” masih datar suara Masku.
“Biar aja apa kata dokter, apa kata tabib, sinshe boleh berteori, Aku
sudah berhenti 2 bulan lho Mas. Lihat, nih perutku. Lho, …tambah lebar.
Wudelku…tambah monyong.” Kubayangkan, pasti Mbak Narsih, membuka roknya
dan memamerkan perutnya yang putih mulus itu.
“Dik Narsih,……. Sungguh bahagia aku hari ini…..akhirnya aku bisa….oh…”
tak ada lagi suara mereka bicara. Pasti mereka……kalau nggak berciuman ya
berpelukan.
“Makanya, jangan lama-lama perginya, Mas” itu suara Mbak Narsih. Lalu
sepi lagi. Peristiwa selanjutnya aku tak tahu, karena aku tidur sampai
siang.
Tiga gari Mas Pras di rumah. Pagi itu dia harus berangkat. Jam lima
pagi, kernetnya datang memberi tahu kalau muatan sudah dinaikkan. Sudah
ditutup deklit ,tinggal berangkat.
“Kun, kamu cari sekolah yang deket-deket saja. Ngirit . Kalau bisa ar
yang masuk siang, Biar ada yang membantu mBakyumu. Dia hamil, Kun. Aga
Mbakyumu jangan sampai kelelahan.” Mas Pras berpesan sambil
mengacak-acak rambutku dengan mesra.
“Inggih, Mas.” Saya antar sambil membawakan koper berisi pakaian Mas
Pras ke truk yang sudah diparkir di ujung gang. Lik Tarjo, kernet setia,
memarkir truk itu di situ.
Pagi itu juga aku diajak Mbak Narsih mencari sekolah buat aku. Aku pakai
seragam SMP Negeri Dua Jogja, dan Mbak Narsih …….. ya ampun….. cantik
banget. Pakaiannya sederhana, tapi cocok sekali dengan kulitnya dan
tubuhnya yang tinggi semampai. Rambutnya yang agak kemerahan, menambah
cantik wajahnya yang oval dihiasi biabir tipis, hidung bangir dan bulu
mata yang lentk. Aku malu pada diriku sendiri, yang kecil dan hitam.
Biar orang pada bilang aku hitam manis, tetap saja aku ini hitam.
Ada sebuah SMP Swasta di jalan Raden Patah. Masuk siang. Tidak jauh dari
rumahku. Di kantor SMP itu Mbak Narsih menjadi pusat perhatian para
guru, terutama bapak-bapak guru. Kalau kepergok Mbak Narsih mereka
sedang memandangi dengan kagum, mereka terenyum ramah. Yang tidak enak
kalau mareka melihat aku, pasti dengan pandangan curiga. Kalau adiknya
kok tidak mirip. Kakaknya cantik, adiknya jelek, gelap lagi. Tetapi
kalau pembantunya kok selalu digandeng . Mungkin begitu yang mereka
pikirkan. Saat wawancara kulihat Bapak Gur yang berkaca mata minus itu
berkali-kali melirik ke belahan dada, Mbak Narsih yang terlihat , karena
bajunya berkerah lebar dan rendah. Kalau Mbak Narsih tertawa, dadanya
terguncang-guncang, Bapak Guru itu ikut-ikutan tertawa. Tetapi matanya
selalu ke dada itu lagi. Dasar lelaki. (Eh, aku laki-laki juga, ya)
Aku tidak peduli. Yang penting aku sekarang sekolah lagi.
Bulan Juli, aku sekolah lagi. Sementara itu perut Mbak Narsih sudah
semakin besar. Banyak pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan lagi.
Satu-satunya yang wajib dikerjakan adalah mengepel lantai. Menurut Bulik
Saodah tetangga depanku, itu baik untuk proses persalinan nanti. Jam
sebelas pagi, semua pekerjaan harus sudah selesai. Karena jam setengah
dua belas harus berangkat sekolah. Jalan kaki lewat Pengapon, lewat
Pasar Kobong, sampai sekolah sekitar setengah jam.
Praktis tenagaku sudah terkuras habis paginya. Di sekolah tinggal
sisa-sisa tenaga. Erring aku berjuang keras melawan rasa mengantuk yang
tak tertahan saat jam pelajaran. Sisi baiknya mengulang di kelas yang
sama terasa amat mudah. Apalagi SMP swasta itu menurut penilaianku
levelnya jauh di bawah SMP ku di Jogja. Senang sekali bisa bersekolah
lagi. Karena aku dikira anak pandai, banyak yang suka bertanya peer.
Kalo ulangan pada minta contekan. Pokoknya seru, deh.
Pulang sekolah sampai di rumah hampir maghrib. Melihat rumah gelap, yang
pertama kulakukan adalah menyalakan lampu pompa. Aku kasihan sama Mbak
Narsih. Beliau nggak bisa menyalakan lampu Petromax. Masih berpakain
seragam, kutengok keadaan dapur, jemuran dan kamar mandi untuk
mengetahui mana yang belum beres. Tetapi semua sudah rapi, kecuali air
di kamar mandi kosong. Aku menimba air memenuhi bak mandi.
“Wis Kun, nanti saja ngisinya. Kamu lelah.” Lemut sekali beliau menyapaku.
“Cuma untuk mandi aku, kok Mbak.” Aku segera mandi. Rutinitas seperti itu terjadi setiap hari.
Aku biasa mengerjakan peer dan belajar sampai malam. Jarang aku bisa
ngobrol-ngobrol lagi. Aku benar-benar tenggelam dengan situasi baruku.
Banyak guru yang kukenal baik dan mereka suka padaku. Sebenarnya aku
biasa-biasa saja. Tetapi karena banyak teman yang bodoh dan nakal, maka
di situ aku dianggap anak yang sopan dan pandai. Aku semakin merasa
diterima . Aku sebenarnya melupakan sesuatu karena kesibukan sekolahku
itu. Mbak Narsih.
Dengan pertnya yang semakin membesar beliau sering menemani aku
mengerjakan peer atau belajar. Sering beliau mengajak bicara, tetapi aku
menjawab seperlunya, karena aku konsentrasi ke pelajaran.
Saat itu sedang banyak ulangan. Aku sedang tenggelam dalam keasyikan
belajar. Kuakui aku memang kutu buku. Matematika adalah pelajaran
favoritku. Aeperti biasa, beliau duduk di sampingku, aku sibuk menulis
dan mngerjakan soak-soal atau menjawab peer. Aku heran, kenapa sejak
tadi Mbak Narsih tidak bertanya. Aku merasa ada yang tidak wajar.
“Mbak, kalau sudah ngantuk sare dulu, to?” aku berbasa-basi sambil
menoleh. Aku terkejut melihat mata beliau basah. Air matanya mengalir di
piinya yang sekarang tampak tembem.
“Mbak,……………….kenapa?” aku menghentikan aktifitasku.
“Nggak apa-apa. teruslah belajar, kamu memang anak rajin, tekun dan
baik.” Jawabnya diserati isak tangis tertahan. Apa maksudnya, ya?
“Kamu dan Mas Pras sama saja, ya. Semua sibuk.” Kini tangisnya pecah.
Aku bingung. Sebagai anak-anak aku belum bisa memahami perlunya memberi
perhatian pada orang tua. Tetapi kini aku sadar, bahwa selama ini, aku
melupakan kehadiran Mbak Narsih. Hatiku tersentuh oleh isak tangisnya.
Secara naluriah kupegang tangannya. Kugenggam erat.
“Mbak……. Maafkan Kun. Aku bener-bener keterlaluan. Aku salah, Mbak…..”
tak bisa kulanjutkan kata-kataku. Dadaku penuh keharuan. Mataku jadi
panas dan basah. Kupeluk beliau dengan penuh perasaan menyesal. Mbak
Narsih tetap menangis dan sikapnya pasif sekali. Kucium tangannya,
kuciumi pipinya diaaaam saja. Aku menjadi serba salah. Karena malam
semakin larut dan Mbak Narsih tidak juga masuk kamar, masih tetap duduk
di sofa. Aku ambil inisiatif. Kuambil selimut dan bantal. Kurebahkan
beliau di sofa. Menurut saja. Kuselimuti diam saja. Malam itu aku
menunggui beliau tidur di sofa, aku tidur di karpet di bawah sofa. Subuh
pagi aku dibangunkan, disuruh mengantar ke kamar mandi. Kutuntun
beliau. Tanpa menutup pintu beliau langsung mengangkat daster dan
jongkok. Soorrrrrrr….
Aku jadi tau, bahwa orang hamil itu suka bermanja-manja. Suka minta yang
aneh-aneh. Mulai hari itu aku lebih banyak memperhatikan keadaan
beliau.
“Kun, aku pengin dimandiin seperti waktu aku sakit dulu itu, lho”
“Baik, Mbak.” Aku siapkan air hangat dan lap pel. Kumasukkan kursi kayu ke kamar mandi.
Tanpa ada rasa malu sedikitpun beliau langsung telanjang di hadapanku.
Lucu juga melihat bentuk tubuhnya. Perut maju, pantat semakin lebar.
Putting susu jadi hitam dan lebar kini bongkahan bukit kembar yang putih
itu semakin melebar saja. Kupandangi semuanya itu dengan pebuh
kekaguman. Apa bisa orang hamil itu “digituin” ya? Aku berpikiran
ngeres. Badanku terasa panas dan penisku semakin mengeras. Kini beliau
sudah duduk. Segera kuguyur tubuhnya dengan air hangat. Tibunya kini
bercahaya bagai dilapisi kaca. Kusabuni punggungnya. Pantatnya,.
Penginnya aku menyabuni bagian depan. Susunya sangat menantang untuk
disentuh, tapi aku masih jaim.
Mbak Narsih rupanya tidak sabar dengan sikapku yang sok jaim itu.
Dipegangnya tanganku yang membawa sabun. Di arahkan ke dadanya. Saat
kusabuni, benda kembar itu terayun-ayun. Aku tau beliau paling suka
kalau sambil diremes, Bener juga, beliau mendongak ke atas menahan
nikmat.
Kini tangaku berada diperut beliau. Aku jongkok di hadapan beliau.
Kemaluan beliau Nampak jelas. Ditumbuhi rambut jarang. Kusabun perutnya
dulu, makin lama makin turun. Akhirnya sampailah jariku di tepi “hutan”
Tak sabar jariku segera menyentuh si merah kecil. Begitu kena sentuhan,
desisnya semakin jelas terdengar. Ketika aku berdiri mengambilkan sabun,
tiba-tiba langkahku tertahan karena celanaku diturunkan, padahal aku
sedang tidak mengenakan CD.
“Kamu duduk di situ.” Mbak Narsih berdiri. Aku duduk di kursi dengan batang tegak teracung.
Mbak Narsih pelan-pelan mengarahkan pantatnya dan duduk dipangkuanku.
“Lho, Mbak…….nggak apa-apa?” tapi sebagai jawaban pantat nan putih itu
semakin turun. Satu tangan beliau memegang penisku mengarahkan ke
lubangnya. Masuknya “si hitam” ke lubang kenikmatan itu disertai desisan
yang punya lubang. “Oohhhh….sssssh” Pantat beliau naik turun diiringi
bunyi crop…crop….crop…..
“Enak…..banget Kuuuun…..hhh….hhh…..hhhh…..”
Aku mengambil gayung lalu kuguyur badannya yang penuh sabun itu. Aliran
air hangat itu menambah nikmat persetubuhan aneh itu. Kuguyur lagi
sambil kugosok punggung dan pundaknya. Begitu terus menerus sambil aktif
naik turun beliau tetap kumandikan. Dari pantulan cermin di kamar
mandi, kulihat susunya terayun-ayun indah saat pantatnya aktif naik
turun. Kedua tanganku meraih kedua bukit kembar itu. Kubelai-belai dan
kupelintir puting hitam besar itu.
“Aaaahhhh……terussss….kamu pinter….Kun…..” gerakan naik turunnya melemah,
kelelahan juga akhirnya. Sekarang Mbak Narsih duduk di bibir bak mandi
yang cukup rendah dan lebar. dibukanya lebar-lebar kedua pahanya. Lubang
kenikmatannya yang sudah amburadul itu menganga. Sikunya bertelekan di
tembok. Sambil berdiri kumasukkan lagi “tongkat ajaib” yang disukai Mbak
Narsih itu. Dalam posisi tengadah seperti itu kukira lubang itu akan
semakin lebar dan kendor. Tetapi aneh, malah tambah seret dan menggigit.
Kamar mandi itu menjadi ajang “pertempuran aneh” Perutnya yang
membuncit bergoyang-goyang saat kusodok-sodok. Baru tau aku sekarang.
Ternyata orang hamil, masih suka “main”, Menurutku malah lebih “hot”
“Kuuuuunnn….. jangan …..tinggalkan Mbak Narsih……”
“Tidak lagi…Mbak.”
“Addduuuuu……kono kuwi Kun…….enaaaaakkkkk…….”
“Mbaaaaak……. Tempikmu…..anget banget, Mbak……..”
“Teruussss……yang dalam…..dalam…….”
“Mbaaaakkkk…..aku nggak tahan lagi…….ayo Mbaak.”
“Ooohhhh….ssshhh……aku….aku……juga……hampiiiiirr…….Ku uun”
Mbak Narsih memutar-mutar pantatnya dan aku menghunjam semakin dalam.
Gelombang kenikmatan datang bergulung-gulung…….nafas kami berdua
terpantul berisik oleh dinding kamar mandi beratap seng. Keringatku
membanjir demikian pula Mbak Narsih. Bau sabun wangi yang bercampur bau
keringat menimbulkan suasana aneh yang sangat merangsang. Akhirnya tak
kuat lagi kami menahan datagnya tsunami kenikmatan itu. Pancaran
spermaku terasa deras menyemprot dinding rahim beliau yang juga banjir.
Karena licin, tubuh Mbak Narsih kepleset nyemplung utuh ke bak mandi.
Untung bak mandinya rendah dan berisi penuh air, sehingga tidak terasa
sakit. Kubantu untuk mentas. Kini aku sendiri mandi jebar-jebur
membersihkan diri. Mbak Narsih membantu menggosok punggungku. Handuk
kita pakai berdua. Masih bugil, kutuntun Mbak Narsih ke kamarnya. Beliau
tidak ambil ganti pakaian malah tiduran. Aku ditariknya untuk ikut
tidur. Padahal sudah jam setengah sembilan pagi.
“Kun……..bawa sini manukmu……”
“Mau apa Mbak…..”
Tak banyak bicara…. Segera mulutnya menciumi burungku yang kini tegang
lagi. Melihat benda ini bertambah panjang dengan cepat, tak sabar Mbak
Narsih memasukkan ke dalam mulutnya. Aku jadi berkelojotan. Rasanya
geli-geli nikmat…..
“Kun, puasi aku. Kamu biarkan Mbak Narsih kesepian sejak kamu sekolah.
Ayo hari ini kamu nggak boleh masuk.” Adduuh, padahal ada ulangan dan
aku sudah belajar mati-matian.
Memang benar-benar gila sex wanita satu ini. Pagi itu aku melayani
beliau sampai jam sebelas. Belum belanja, belum masak. Pagi yang
melelahkan. Seharian beliau bermanja-manja. Makan minta disuapi. Mandi
harus ditunggui. Mengingat pesan Mas Pras, ku rela tidak masuk hari itu.