Berdiri di depan
pintu rumahku, menantu permpuanku, Mirna, mendekatkan kepalanya ke
arahku dan berbisik, “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.” Dia memberiku
sebuah kecupan ringan di pipi, dan berbalik lalu berjalan menyusul suami
dan anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Yoyok menempatkan
bayinya pada dudukan bayi itu, dan seperti biasanya, dia terlalu jauh
untuk mendengar apa yang dibisikkan istrinya tercintanya terhadap Ayah
kandungnya.
Mirna melenggang
di jalan kecil depan rumah dengan riangnya bagai seorang gadis remaja
yang menggoda. Yoyok tak mengetahui ini juga, ini semua dilakukan
istrinya hanya untukku…
Mungkin kalian
mengira aku terlalu mengada-ada soal ini, tapi kenyataannya apa yang
Mirna lakukan ini tidak hanya sekali ini saja. Dan sejak aku tak terlalu
terkejut lagi, aku merasa ada sesuatu yang hilang jika dia tidak
melakukannya saat berkunjung ke rumahku. Aku merasa ada getaran pada
penisku, dan sebagai seorang lalaki biasa yang masih normal, pikiran
‘andaikan…A?a,?a"? yang wajar menurutku selalu hadir di benakku.
Mirna adalah
seorang wanita yang bertubuh mungil, tapi meskipun begitu ukuran
tubuhnya tersebut tak mampu menutupi daya tarik seksualnya. Sosoknya
terlihat tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai rambut hitam pekat
yang dipotong sebahu, dia sering mengikatnya dengan bandana.
Dia memiliki
energi dan keuletan yang sepengetahuanku tak dimiliki orang lain. Sebuah
keindahan nan elok kalau ingin mendiskripsikannya. Dia selalu sibuk,
selalu terlihat seakan dikejar waktu tapi tetap selalu terlihat manis.
Dia masuk dalam kehidupan keluarga kami sejak dua tahun lalu, tapi
dengan cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga kami sekian
lamanya.
Yoyok bertemu
dengannya saat masih kuliah di tahun pertama. Mirna baru saja lulus SMU,
mendaftar di kampus yang sama dan ikut kegiatan orientasi mahasiswa
baru. Kebetulan Yoyok yang bertugas sebagai pengawas dalam kelompoknya
Mirna. Seperti yang sering mereka bilang, cinta pada pandangan pertama.
Mereka menikah di
usia yang terbilang muda, Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun. Setahun
kemudian bayi pertama mereka lahir. Aku ingat waktu itu kebahagian
terasa sangat menyelimuti keluarga kami. Suasana saat itu semakin
membuat kami dekat. Mirna mempunyai selera humor yang sangat bagus,
selalu tersenyum riang, dan juga menyukai bola. Dia sering terlihat
bercanda dengan Yoyok, mereka benar-benar pasangan serasi. Dia selalu
memberi semangat pada Yoyok yang memang memerlukan hal itu.
Yoyok dan Mirna
sering berkunjung kemari, membawa serta bayi meraka. Mereka telah
mengontrak rumah sendiri, meskipun tak terlalu besar.
Aku pikir mereka
merasa kalau aku membutuhkan seorang teman, karena aku seorang lelaki
tua yang akan merasa kesepian jika mereka tak sering berkunjung.
Disamping itu, aku memang sendirian di rumah tuaku yang besar, dan aku
yakin mereka suka bila berada disini, dibandingkan rumah kontrakannya
yang sempit.
Ibunya Yoyok
telah meninggal karena kanker sebelum Mirna masuk dalam kehidupan kami.
Sebenarnya, tanpa mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang
kesepian. Aku masih sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu
meratapi itu, aku pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku
di perkebunan serta kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk
untuk sekedar patah hati, dan terlalu sibuk untuk mencari wanita untuk
mengisi sisa hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada
sosok wanita. Tak terlalu.
Bayi mereka
lahir, dan menjadi penerus keturunan keluarga kami. Kami sangat
menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan, Yoyok melanjutkan
pendidikannya untuk gelar MBA, dan Mirna bekerja sebagai Teller di
sebuah Bank swasta.
Kunjungan mereka
padaku tak berubah sedikitpun, cuma bedanya sekarang mereka sering
membawa beberapa bingkisan juga. Tentu saja, diasamping itu juga
perlengkapan bayi, beberapa popok, mainan dan makanan bayi.
Beberapa bulan
lalu Mirna dan bayi mereka datang saat Yoyok masih di kelasnya. Dia
duduk disana menggendong bayinya di lengannya. Dia sedang berusaha untuk
menidurkan bayinya. Aku tak tahu caranya, tapi pemandangan itu entah
bagaimana telah menggelitik kehidupan seksualku.
“Ngomong-omong… kapan Ayah akan segera menikah lagi?” dia bertanya dengan getaran pada suaranya.
“Aku tak tahu.
Aku kelihatannya belum terlalu membutuhkan kehadiran seorang wanita
dalam hidupku. Lagipula, aku telah memiliki kalian yang menemaniku.”
“Aku tidak bicara tentang teman. Aku sedang bicara soal seks.” matanya mengedip kearahku saat dia bicara.
“Apa?”
“Ayah tahu,
seks.” dia hampir saja tertawa sekarang. “Ketika seorang lelaki dan
wanita sudah telanjang dan memainkan bagiannya masin-masing?”
“Ya, aku tahu seks,” aku membela diri. “Lagipula kamu pikir darimana suamimu berasal?”
“Yah, aku hanya khawatir kalau Ayah sudah melupakannya. Maksudku, apa Ayah tak merindukan hal itu?”
“Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku sudah terlalu tua untuk hal seperti itu.”
“Hei! Lelaki tak pernah bosan dengan hal itu. Setidaknya begitulah dengan putramu.”
“Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia mempunyai seorang istri yang cantik.”
“Terima kasih, tapi aku masih tetap menganggap Ayah membutuhkannya,” dia menekankan suaranya pada kata ‘Ayah’.
“Terima kasih
sudah ngobrol,” kataku, masih terdengar sengit. Ada sedikit jeda pada
perbincangan itu, saat dia masih menekan kehidupan seksualku. Aku pikir
bukanlah urusannya untuk mencampuri hal itu meskipun kadang aku
membayangkannya juga.
Dia pandang
bayinya, yang akhirnya tertidur, dan memberinya sebuah senyuman rahasia,
sepertinya mereka berdua akan berbagi sebuah rahasia besar. Masih
memandangnya, tapi dia berbicara padaku, “Kalau Ayah mau… aku nggak
menolak.”
“Apa!!!?”
“Aku serius.”
Mirna menatapku. “Kalau Ayah menginginkan aku… Ayah adalah seorang
lelaki yang tampan. Ayah membutuhkan seks. Disamping itu, aku bersedia,
kan?”
Aku pikir dia
sedang bercanda. Tapi wanita yang menggoda ini tidak sedang main-main.
Tapi tetap saja tak mungkin aku melakukannya dengan istri dari anak
kandungku sendiri. “Terima kasih atas tawarannya, tapi kupikir aku akan
menolak tawaranmu.” suaraku terdengar penuh dengan keraguan saat
mengucapkannya.
Mirna mencibirkan
bibir bawahnya, aku tak bisa menduga apa yang sedang dirasakannya. Dia
tetap terlihat menawan, dan aku merasa Yoyok sangat beruntung.
Dia bicara dengan
pelan. “Dengar, Yoyok tak akan tahu. Maksudku, aku tak akan
mengatakannya kalau Ayah juga menjaga rahasia. Dan bukan berarti aku
menawarkan diriku pada setiap lelaki yang kutemui. Aku bukan wanita
seperti itu dan aku bisa mengatur agar sering berkunjung kemari. Dan aku
tahu Ayah menganggapku cukup menarik kan, sebab aku sering melihat Ayah
memandangi pantatku.”
Aku tak mungkin
menyangkalnya. Mirna mungkin tak terlalu tinggi, tapi dia memiliki
bongkahan pantat yang indah diatas kedua kakinya. “Ya, kamu memang
memiliki pantat yang indah. Tapi itu bukan berarti kalau aku ingin
berselingkuh dengan menantuku sendiri.”
Dia berhenti
sejenak, tapi Mirna kelihatannya tak akan menyerah begitu saja. “Yah,
tapi jangan lupa. “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Dan itulah awal dari semua ini.
Seiring minggu
yang berlalu, entah di sengaja atau tidak, dia seakan selalu berusaha
untuk menggodaku, membuat puting sususnya menyentuh dadaku saat dia
menyerahkan bayinya padaku untuk ku gendong. Atau dia masukkan jarinya
di mulutnya saat Yoyok tak melihat, dan menghisapnya dengan pandangan
penuh kenikmatan ke arahku.
Suatu waktu dia
duduk di lantai dengan kaki menyilang dan sedang bermain dengan bayinya,
dia memandangku tepat di mata, tersenyum, dan menyentuh pangkal paha di
balik celana jeansnya. Aku tak akan melupakan hal itu. Dan dia entah
bagaimana selalu menemukan cara untuk berduaan denganku walaupun sesaat,
dan dia memberiku ciuman singkat yang penuh gairah, tepat di bibir. Itu
semua dilakukannya berulang-ulang.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik di belakang Yoyok saat suaminya itu sedang memasukkan DVD pada player.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik saat mendekat untuk menyodorkan minuman padaku.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia membisikkannya setiap kali dia berpamitan.
Dan sekarang, aku
bukanlah terbuat dari batu, dan aku tak akan bilang tingkah lakunya itu
tidak memberikan pengaruh terhadapku. Mirna sangat manis dan mungil,
dan meskipun setelah melahirkan bayi pertamanya tak membuat tubuhnya
berubah seperti kebanyakan wanita. Dia tetap langsing, dan manis, dan
dia menawarkan dirinya untuk kumiliki. Tapi aku tak akan memulai langkah
pertama untuk tidur dengan menantuku sendiri, tak perduli semudah
apapun itu.
Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada diriku sendiri.
Beberapa minggu
yang lalu kami semua berkumpul di rumahku untuk melihat pertandingan
bola. Aku mengambil beberapa kaleng minuman dan sedang berada di dapur
untuk menyiapkan beberapa makanan ringan saat Mirna muncul dari balik
pintu itu.
“Hai!” sapanya, membuka pintu dan masuk ke dapur. “Ayah sudah siap untuk pertandingan nanti?”
“Hampir. Aku
sedang membuat makanan untuk keluarga kecil kita, dan aku punya beberapa
wortel untuk cucuku. Aku pikir dia akan suka dan warnanya sama dengan
kesebelasan yang akan bertanding nanti, kan?
Mirna tertawa dan
berkata. “Aku rasa dia tak akan perduli. Disamping itu bukankah ada hal
lain yang lebih baik yang bisa Ayah kerjakan untukku?”
“Jangan
menggodaku. Aku seorang kakek dan aku akan lakukan apa yang menurutku
akan disukai oleh cucuku.” aku memandangnya. Mirna berdiri di sana
memakai bandana merah kesukaannya diatas rambutnya yang sebahu. Dia
memakai kaos yang sedikit ketat yang bahkan tak sampai ke pinggangnya,
dan pusarnya mengedip padaku dibalik kaosnya. Kancing jeansnya
membuatnya kelihatan seperti anak-anak diera bunga tahun 60an, dan dia
memakai sandal dengan bagian bawah yang tebal yang menjadikannya lebih
tinggi sepuluh centi.
Kuku kakinya
dicat merah senada dengan lipstiknya, dan itu menjadi terlihat dengan
sangat menarik dibalik denimnya. Dia selalu suka mengenakan perhiasan,
dan dia memakainya pada leher, telinga, pergelangan tangan dan bahkan di
jari kakinya. Dia membuatku berandai-andai jika saja aku masih remaja,
jadi aku dapat memacari gadis sepertinya. Mungkin suatu waktu nanti aku
harus pergi ke kampus dan mencari gadis-gadis. Khayalanku terhenti saat
menyadari kalau Yoyok dan bayinya tidak mengikutinya masuk.
“Mana anggota keluargamu yang lainnya?” aku bertanya ingin tahu.
“Mereka akan
segera datang. Yoyok pergi ke toko perkakas untuk membeli peralatan
mesin cuci yang rusak. Dia ingin membawa serta anaknya. ‘Perjalanan ke
toko perkakas yang pertama bersama Ayah’ kurasa yang dikatakannya
padaku.” dia tersenyum.
“Apa Ayah mempermasalahkan saat pertama kalinya mengajak Yoyok ke toko perkakas?”
“Aku tak ingat,” aku berkata dengan garing.
Mirna mendekat padaku, dan menaruh tangannya melingkari leherku. “Ini kesempatan Ayah. Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Mirna memandangku
tepat di mata dan mengangkat tubuhnya dan menciumku lama dan liar. Aku
ingin mendorongnya, tapi aku tak tahu dimana aku harus menaruh tanganku.
Aku tak mau menyentuh pinggang telanjang itu, dan jika aku menaruh
tanganku di dadanya aku pasti akan menyentuh puting susunya. Saat aku
masih terkejut dan bingung, aku temukan diriku menikmati ciumannya. Ini
sudah terlalu lama, dan aku merasa telah lupa akan rasa lapar yang mulai
tumbuh dalam diriku.
Akhirnya aku
menghentikan ciuman itu dan mundur dan melepaskan tangannya dari
leherku. “Kita tak bisa melakukannya.” aku mencoba menyampaikannya
dengan lembut, tapi aku takut itu kedengaran seperti rajukan.
“Ya kita bisa.”
Mirna kembali menaruh lengannya di leherku dan mendorong bibirku ke
arahnya. Ada gairah yang lebih lagi dalam ciuman kali ini, dan akhirnya
penerimaanku. Kali ini saat kami berhenti, ada sedikit kekurangan udara
diantara kami berdua, dan aku semakin merasa sedikit bimbang.
Mirna memandangku
dengan binar di matanya dan sebuah senyuman di bibirnya. “Ayah
menginginkanku. Aku bisa merasakannya. Ayah tak mendapatkan wanita
setahun belakangan ini, dan Ayah tak mempunyai tempat untuk
melampiaskannya. Dan aku menginginkan Ayah. Jadi tunggu apa lagi…”
Pada sisi ini aku
tak mampu berkomentar. Aku menginginkannya. Tapi aku tak dapat meniduri
menantuku, bisakah aku? Tapi aku menginginkan dia. Aku merasa
pertahananku melemah, dan saat Mirna menciumku lagi, aku jadi sedikit
terkejut saat menyadari diriku membalas ciumannya dengan rakus.
“Mmmmm. Itu lebih
baik,” katanya saat kami berhenti untuk mengambil nafas. Mirna menarik
tangannya dari leherku dan mulai melepaskan kancing celanaku saat
menciumku kembali lalu dia mundur. Jadi dia bisa melihat saat dia
melepaskan kancing jeansku, menurunkan resletingnya, dan merogoh ke
dalam untuk mengeluarkan barangku. Aku terkejut saat terlihat jadi
tampak lebih besar di genggaman tangannya yang kecil. Setahun sudah tak
disentuh oleh wanita , dan bereaksi dengan cepat, menjadi keras dan
cairan pre-cumnya keluar saat dia mengocoknya dengan lembut.
Mirna mundur dan
duduk. Saat kepalanya turun, dia menempatkan bibirnya di pangkal penisku
yang basah. “Aku rasa aku menyukai bentuknya,” bisiknya sambil menatap
mataku. Lalu kemudian dia membuka mulutnya dan dengan perlahan
memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ke dalam dan lebih dalam lagi
penisku masuk dalam mulutnya yang lembut, hangat dan basah, dan aku
merasa berada di dalam vagina yang basah dan kenyal saat lidahnya menari
di penisku. Akhirnya aku merasa telah berada sedalam yang ku mampu,
bibirnya menyentuh rambut kemaluanku dan kepala penisku berada entah di
mana jauh di tenggorokannya. Penisku tanpa terasa mengejang, dan
pinggangku bergerak berlawanan arah dengannya, dan bersiap untuk
menyetubuhi wajahnya.
Tapi Mirna
perlahan menjauhkan mulutnya dariku, menimbulkan suara seperti sedang
mengemut permen. Saat dia bangkit untuk menciumku lagi, aku mengarahkan
tanganku diantara pahanya. Aku gosok jeansnya dan dia menggeliat
karenanya. “Mmmm, itu pasti nikmat,” katanya. “Tapi biar aku membuatnya
jadi lebih mudah.”
Mirna melepaskan
kancing celananya dan menurunkan resletingnya, memperlihatkan celana
dalam katunnya yang bergambar beruang kecil. Diturunkannya celananya dan
melepaskannya dari tubuhnya. Kami melihat ke bawah pada area gelap
dibawah sana dimana kewanitaannya bersembunyi, dan kemudian aku sentuh
perutnya yang kencang dan terus menurunkan celana dalamnya.
Mirna mengerang
dalam kenikmatan saat tanganku mencapai sasarannya dibalik celana
dalamnya. Vaginanya serasa selembut pantat bayi, dan aku sadar kalau dia
pasti telah mencukurnya sebelum kemari. Terasa basah dan licin oleh
cairan kewanitaannya dan membuatku kagum karena itu tak menimbulkan
bekas basah di luar jeansnya. Saat tanganku menyelinap dibalik bibir
vaginanya dan menyentuh klitorisnya yang mengeras, dia memejamkan
matanya dan menekan berlawanan arah dengan jariku.
Mirna menaruh
salah satu tangannya di leherku dan mendorong kami untuk sebuah ciuman
intensif berikutnya sedangkan tangannya yang lain mengocok penisku dan
tanganku terus bergerak dalam lubang basahnya. Saat kami berhenti untuk
bernafas, Mirna mundur dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan, “Yoyok
datang.”
Aku segera
melepasnya dan menuju jendela. Ya, mobil Yoyok terlihat di jalan sedang
menuju kemari. Mirna pasti melihatnya dari balik bahuku saat kami saling
mencumbui leher. Tiba-tiba perasaan bersalah datang menerkam karena
hampir saja ketahuan. Aku tak percaya apa yang hampir saja kami lakukan.
Dengan tergesa-gesa aku kenakan kemabali celanaku, tapi Mirna
menghentikanku dan menangkap tanganku dan melanjutkan kocokannya.
“Hei, tidak boleh. Tak semudah itu Ayah boleh mengakhirinya. Aku telah menunggu terlalu lama untuk ini.”
“Tapi Yoyok hampir datang! Dia akan melihat kita!”
Mirna
mengeluarkan penisku dan berjalan ke arah meja dapur. “Ini
perjanjiannya,” katanya. “Aku tak akan mengadu pada Yoyok tentang apa
yang baru saja kita lakukan kalau Ayah dapat dapat mengeluarkan seluruh
sperma Ayah dalam vaginaku sebelum dia sampai kemari.” Sambil berkata
begitu, dia menurunkan celananya hingga lutut dan membungkuk di meja
itu.
“Dia segera datang!” hampir saja aku teriak.
“Tidak.” Mirna
membentangkan kakinya sejauh celananya memungkinkan untuk itu dan dia
memandangku lewat bahunya. “Dia harus menggendong bayi dan mengeluarkan
semua barangnya. Biasanya dia memerlukan beberapa menit. Sekarang
kemarilah dan setubuhi aku.”
Mirna telah
telanjang dari pinggang hingga kaki, dan dia memohon padaku agar segera
memasukkan diriku dalam tubuhnya. Aku menatap dua lubang yang mengundang
itu. Pantatnya begitu kencang dan aku tak terusik saat melihat lubang
anusnya yang berkerut kemerahan, dan di bawahnya, bibir vaginanya yang
merah, terlihat mengkilap basah. Kakinya tak sejenjang model, tapi lebih
kecil dan terasa pas, dan aku membayangkan bercinta dengannya beberapa
jam.
Tangannya
bergerak kebelakang diantara pahanya dan menempatkan tangannya pada
vaginanya. Dengan dua jarinya dilebarkannya bibir vaginanya hingga
terbuka, dan aku dapat melihat lubang merah mudanya mengundang penisku
agar segera masuk. “Ayo,” katanya. “Ambil aku.”
Aku tak tahu apa
dia sedang bercanda saat mengatakannya. Yoyok atau bukan, rangsangan ini
lebih dari cukup untuk mereguk birahinya. Aku melangkah ke belakang
menantuku dan menempatkan penisku di kewanitaannya. Saat aku mendorong
penisku melewati lubang surganya yang sempit, aku dapat merasakan jari
Mirna menahan bibir madunya agar tetap terbuka, dan dia melenguh saat
aku memegang pinggangnya dan memasukkan diriku padanya.
Mirna telah
sangat basah hingga aku dengan mudah melewati vagina mudanya yang
sempit. Aku mulai mengayunkan barangku di dalamnya, sebagian didorong
oleh nafsu akan tubuh menggairahkannya dan sebagian oleh rasa takut jika
Yoyok memergoki kami. Mirna mengerang, dan aku dapat merasakan jarinya
menggosok kelentit dan bibir vaginanya sendiri. Nafasnya mulai
tersengal, dan setelah beberapa goyangan dariku, dia segera orgasme.
Suara rengekan pelan keluar dari bibirnya saat dia mencengkeram
pinggiran meja dengan kuat, dan letupan orgasmenya menggoncang kami
berdua saat aku menghentaknya.
Itu cukup untuk
menghantarku. Aku tak berhubungan dengan wanita dalam setahun ini, dan
aku belum pernah mendapatkan yang sepanas Mirna. Aku menahan nafas dan
mendorong seluruh kelaki-lakianku ke dalam dirinya. Kami mematung, dan
kemudian spermaku menyemprot dengan hebat jauh di dalam surganya. Serasa
aku telah mengguyurnya dengan sperma yang panas dan berlebih. Dia
mengerang dalam nikmat, menggetarkan pantatnya di seputar penisku saat
aku mengosongkan persediaan benihku. Dia melemah seiring dengan habisnya
spermaku, dan kami akhirnya berhenti bergerak, kecuali untuk mengambil
nafas.
Takut Yoyok akan
datang sebelum kami sempat melepaskan diri, aku keluarkan diriku dari
tubuhnya dengan bunyi plop yang basah, lalu mundur menjauh dan
mengenakan celanaku. Mirna masih tetap berbaring tertelungkup di atas
meja merasakan kehangatan campuran cairan birahi kami, pantat
telanjangnya masih tetap memanggilku. Aku lihat spermaku dan cairannya
mulai meleleh keluar dari bibir surganya. Aku palingkan muka dan melihat
Yoyok hampir sampai di pintu belakang, bayi di tangan yang satu dan
belanjaan di tangan lainnya.
Aku berbalik dan memohon pada Mirna. ” Ayolah!” kataku. “Kamu telah dapatkan keinginanmu. Dia hampir sampai kemari.”
Mirna bangkit,
tatapan matanya masih kelihatan linglung. Dia bergerak ke depanku,
menjadikanku sebagai penghalang dari pandangan suaminya saat dia dengan
tergesa-gesa memakai celananya.
“Apa kalian sudah siap untuk pertandingannya?” tanya Yoyok sambil membuka pintu.
“Ya,” aku
menjawab dari balik punggungku saat aku diam untuk menghalangi Mirna
yang menaikkan resletingnya. Setelah dia selesai, aku segera berbalik
untuk menyambut Yoyok.
“Ini,” katanya, menyodorkan bayinya padaku dan meletakkan belanjaannya diatas meja dapur.
“Urus ini, aku
akan mengambil popok bayi.” Yoyok melangkah ke pintu yang masih terbuka,
dan aku menghampiri Mirna. Dia masih terlihat sedikit linglung.
“Hampir saja,” kataku.
“Sini, biar aku yang menggendongnya.”
Aku berikan
bayinya. Mirna memberiku pemandangan seraut wajah dari seorang wanita
yang puas sehabis bersetubuh, dan memberiku ciuman hangat yang basah.
“Masih ada satu hal lagi yang harus kuketahui,”katanya.
“Apa itu?”
A?a,?A"Kalau aku ingin, bisakah aku mendapatkannya besok?”
Dan dia melenggang begitu saja tanpa menunggu jawabanku yang hanya melongo bengong. Dia yakin kalau akan bersedia…
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerita Dewasa
dengan judul Menantuku Memperkosa aku Di Saat Aku Ganti Baju. Jika kamu suka, jangan lupa like dan bagikan keteman-temanmu ya... By : Night.Dream
Ditulis oleh:
Unknown - Friday, June 21, 2013
Belum ada komentar untuk "Menantuku Memperkosa aku Di Saat Aku Ganti Baju"
Post a Comment